Lajang Terakhir #1

Leave a Comment
Ulang Tahun


"Happy birthday...."
Teriakan itu menggema ketika Fira muncul di pintu masuk ruang redaksi BLITZ! Magazine. Menyusul kemudian bunyi terompet bertalu-talu dan tepuk tangan yang gegap gempita.
Kerutan muncul di dahi Fira saat menyaksikan ruang kerjanya dipenuhi kertas warna warni, balon-balon, dan spanduk besar bertuliskan "Happy Birthday Big Boss!" terbentang di ujung ruangan. Semua jajaran redaksi BLITZ! ada disana, berkumpul di sebuah meja bulat di tengah ruangan tempat mereka biasa mengadakan rapat kecil. Mata Fira membola saat melihat sebuah kue besar dengan hiasan berbentuk sebuah tote bag dan stiletto berwarna merah dengan lilin berbentuk angka 32 di atasnya.
"Happy birthday mbak Fira..."
Lagi-lagi teriakan itu keluar dari mulut teman-teman kerjanya, disusul bunyi terompet dan tepuk tangan.
Fira tersenyum, lalu melangkah memasuki ruang kerja. Langkahnya tetap anggun meski mengenakan killer heels dan sack dress biru tua yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Sebuah clutch berlogo Chanel tergenggam dengan kuatnya di tangan kiri.
"Thanks for this surprise." Fira terlihat gugup. Kejutan ini benar-benar di luar perkiraannya. Memang, redaksi BLITZ! memiliki tradisi merayakan ulang tahun karyawannya di meja bulat ini. Namun, perayaan biasanya hanya diisi oleh tiup lilin, potong kue, dan doa bersama. Ruangan berukuran sedang itu pun tidak pernah didekorasi karena perayaan hanya berlangsung paling lama 15 menit. Setelah itu, mereka kembali berkutat dengan deadline masing-masing.
Fira yang harus menghadiri meeting dengan pengiklan sebelum berangkat ke kantor, sama sekali tidak memikirkan perayaan besar ini. Dipikirannya hanya ada sebuah kue yang disiapkan teman-temannya. Namun, kedatangan Fira yang agak sedikit telat ini dimanfaatkan oleh karyawan lain untuk menyiapkan perayaan tersebut. Sebuah kue istimewa yang menggambarkan Fira -tote bag and stiletto- telah disiapkan jauh-jauh hari. Spanduk besar juga telah selesai dari minggu lalu. Pagi ini, yang seharusnya diisi dengan bekerja, malah dimanfaatkan untuk mendekorasi ruangan.
"Kalian menyiapkan semua ini, apa pekerjaan kalian sudah selesai?" Tanya Fira seraya menatap berkeliling.
"Oh come on boss," jawab Stanley, art director BLITZ!, "it's just for one day. Malah, hanya setengah hari."
"Jangan kecewakan kita mbak," rajuk Lia, junior reporter yang baru bergabung dua bulan lalu.
Fira tertawa. Anak-anak ini, selalu tahu cara membuatku tertawa, gumamnya dalam hati. "Oke," ujarnya.
Mereka semua bertepuk tangan.
"Sekarang saatnya tiup lilin," celetuk Ella, managing editor.
Fira memejamkan mata dan memanjatkan permohonannya sebentar, kemudian meniup lilin. Lilin itu bergoyang sebentar sebelum akhirnya meredup dan padam.
"Sekarang potong kuenya," komando Ella lagi. Dari semua redaksi BLITZ!, Ella-lah yang paling dekat dengan Fira karena dia masuk ke sana tidak lama setelah Fira.
Fira mengambil pisau yang disodorkan Lia dan memotong kue, kemudia meraih sebuah piring kertas dan meletakkan sebuah potongan disana. "Thanks for everything. Saya benar-benar surprise dengan kejutan ini. Dan di moment ini saya ingin bilang bahwa kalian adalah orang-orang hebat dan saya bangga mendapat kepercayaan memimpin tim hebat ini." Fira mengangkat piring kertasnya. "Demi kejayaan BLITZ! dan kita."
Lagi-lagi tepuk tangan membahana.
"Silakan ambil kue ini sebanyak yang kalian mau," ujar Fira seraya menyendokkan potongan kecil kue ke bibirnya yang dibalut lipstick merah menyala
Suasana mendadak heboh karena mereka semua saling berebutan kue. Fira memilih menyingkir dari meja bulat dan bersandar di salah satu meja. Dia tertawa menyaksikan pemandangan di depannya. Untuk sejenak, Fira membiarkan dirinya relaks dari segala kepenatan dan tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya. Fira ikut larut dalam suasana meriah yang diciptakan 'anak-anaknya', sebutan Fira untuk teman-temannya di jajaran redaksi BLITZ!. Fira ikut tertawa saat Stanley berinisiatif menyanyi solo dan tetap pede dengan suara sumbangnya meski beberapa teriakan menyuruhnya berhenti. Fira tak menolak ajakan Mario, fotografer, untuk berdansa saat Ella memutar lagu-lagu ABBA. Sepanjang perayaan itu, Fira tak hentinya tertawa, sesuatu yang jarang dilihat oleh anak-anaknya, mengingat Fira dikenal sebagai seorang editor in chief yang tegas dan galak. Namun, di hari ulang tahunnya, Fira melumer dalam keceriaan yang diciptakan anak-anaknya itu.
***
Rendra membuka pintu ruangan Fira secara perlahan. Dilihatnya perempuan itu tengah membelakanginya dan sibuk memeriksa map yang tengah dipegangnya. Rendra menutup pintu dan berjalan tanpa suara ke arah Fira.
"Awww..." Fira terlonjak kaget saat sepasang tangan merangkul pinggangnya. Aroma Gucci Guilty for Men memenuhi rongga penciumannya. Fira mendecak. "Rendra," gumamnya pelan.
Rendra tertawa. "Happy birthday, sweaty," ujarnya seraya memutar tubuh Fira hingga mereka berhadapan.
Fira tersenyum dan menutup map yang sedari tadi ditekurinya. "Thanks," balasnya singkat.
Rendra menelengkan kepalanya dan tersenyum merajuk. "Hanya itu? Oh come on, aku mengharapkan lebih dari itu."
Fira tergelak. "What do you want?"
"What about dinner?"
"Tonight?"
"Yes, dear!" Jawab Rendra cepat.
"Sorry. Malam ini aku ada acara dengan keluarga besarku."
Rendra merajuk. Fira tertawa melihat tingkah Rendra yang menggemaskan, dan sepertinya Rendra tahu bahwa Fira menyukai itu sehingga dia sering menampilkan ekspresi merajuk di depan perempuan itu. Rendra tidak peduli meski Fira sering mengejeknya dengan 'Bayi Besar' jika dia sudah mulai merajuk.
"Jangan merajuk seperti itu. Kamu seperti remaja tanggung saja," seloroh Fira.
"Lupa kalau aku masih 22 tahun?" Rendra menggoda Fira dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Ucapanmu itu mengingatkan aku bahwa aku sepuluh tahun lebih tua darimu."
"Tapi kamu nggak kalah seksi dibanding perempuan 20-an manapun," goda Rendra lagi.
Lagi-lagi Fira tergelak. "For tonight, I'm really sorry," ujarnya serius.
Rendra menghembuskan nafas berat.
"But I give you my breakfast time tomorrow. In my apartment?"
Senyum lebar merekah di wajah Rendra. Dia pun mengangguk antusias. "No problem breakfast, lunch or dinner. Anything for you, sweaty!" Rendra melesakkan sebuah ciuman tipis ke bibir Fira.
Fira membalas ciuman Rendra sekilas sebelum akhirnya dia buru-buru melepaskan diri dari pelukan pria muda itu. "Aku masih banyak kerjaan," ujarnya singkat. Tanpa menatap Rendra, Fira kembali ke mejanya dan mulai sibuk mengutak atik laptop dihadapannya.
Sebuah penolakan lagi, gumam Rendra dalam hati. Rendra hanya angkat bahu sejenak menanggapi itu. Bagi Rendra, dia sudah kebal dengan segala penolakan Fira saat dia mulai menunjukkan indikasi ingin bermesraan.
"Oke. Aku juga harus pergi. Ada pemotretan. See you tomorrow."
Fira mengangkat wajahnya dan mengangguk kecil.
***
Fira memasuki Healthy Cafe dengan sedikit terburu-buru. Malam ini, berdasarkan komando dari adik bungsunya Radith, seluruh keluarga besar Fira berkumpul di cafe yang dikelola Fira bersama Radith ini. Satu jam yang lalu, Radith meneleponnya sekadar mengingatkan agar tidak terlambat.
Karena terburu-buru, Fira sampai tidak melihat-lihat jalan. Seorang anak kecil menabraknya di pintu masuk.
"Hallo aunty," sapa anak itu, Meredith, riang. Rambut coklatnya bergoyang-goyang mengikuti kepalanya yang tak bisa berhenti.
"Hallo sayang," sahut Fira seraya mencium kening Meredith sekilas. Meredith adalah anak dari adiknya, Rena, yang baru berusia lima tahun. "Kamu mau kemana?"
"Ke tempat mommy," jawab Meredith. Telunjuk kecilnya teracung mengarah ke belakang Fira.
Fira berbalik dan mendapati Rena tengah berjalan ke arahnya sambil menenteng sebuah black forest berukuran besar. "Hai sist. Happy birthday anyway," sapa Rena.
"Masterpiece terbaru kamu?" Tanya Fira.
Rena mengangguk senang dan tampak bangga akan hasil karya terbarunya. Berbeda dengan Fira yang menekuni dunia jurnalistik, Rena lebih memilih bidang kuliner dan cukup sukses dengan toko kuenya yang telah memiliki tiga cabang di Jakarta.
"Sudah siap dengan pertanyaan Ami dan Abi?" Goda Rena.
Fira yang berjalan disampingnya langsung menghentikan langkah. Wajahnya pias.
Melihat kakaknya yang tiba-tiba pucat, Rena malah tertawa. "Come on sist, kamu nggak akan bisa mengelak. Hadapi ini dengan cara Fira, seperti yang sering kamu lakukan."
"You know Ren, kamu sama sekali nggak membantu."
Tawa Rena makin kencang. "Ayo masuk. Semuanya sudah menunggu di dalam."
Fira mengikuti Rena menuju meeting room Healthy Cafe yang malam ini disulap sebagai tempat perayaan ulang tahun Fira. Begitu masuk, Fira mendapati ruangan yang heboh dengan teriakan anak kecil. Sepertinya Radith cukup berhasil sebagai EO karena terbukti mampu mengumpulkan seluruh keluarga besarnya yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
"Selamat ulang tahun, sayang," ujar Ami, ibu Fira, seraya mencium pipi putri sulungnya itu.
"Selamat ulang tahun, nak." Abi, ayah Fira, turut mengucapkan selamat setelah ibunya.
Selanjutnya Fira harus beramah tamah dengan om dan tantenya yang sengaja datang malam ini. Begitu juga dengan sepupu-sepupunya.
Fira cukup bahagia malam ini. Dia tampak asyik bermain bersama keponakan-keponakannya, bercengkrama dengan om dan tantenya, sampai mengikuti sesi curhat dengan para sepupunya. Namun, berhubung sesi curhat itu berpusat di masalah kehidupan rumah tangga, Fira memilih untuk menyingkir dan bergabung dengan Radith dan Mega, sepupunya yang masih lajang.
Meski terlihat riang, sebenarnya hatinya ketar ketir menunggu saat-saat yang dibencinya. Fira yakin, tak lama lagi saat itu akan tiba, dan sama seperti tahun sebelumnya, dia tidak punya celah untuk menghindar.
Kekhawatirannya terbukti. Sesaat setelah om, tante dan sepupunya pulang, Abi berdehem dan menunjukkan mimik serius. Ami yang duduk disebelahnya pun tampak tak kalah serius. Rena pun memilih untuk tetap tinggal di ruangan itu dan membiarkan Joseph, suaminya, membawa Meredith dan Alex pulang duluan. Hanya Radith yang terlihat santai dan mengedip nakal kepada Fira.
"Kabarmu baik-baik aja kan, nduk?" Tanya Abi.
"Baik, Bi," sahut Fira. Tangannya tak henti-hentinya memainkan cincin yang melingkar di jarinya untuk menghilangkan gugup.
"Kerjaanmu lancar?"
Fira mengangguk.
"Kamu enjoy dengan pekerjaanmu itu." Kali ini giliran Ami yang angkat bicara.
"Iya Mi. Ami kan tahu dari dulu aku memang ingin terjun ke bidang ini."
"Ya iyalah kamu enjoy mbak, bisa jalan-jalan gratis sampai ke luar negeri dan sering dapat baju-baju secara cuma-cuma, siapa yang bisa nolak?" celetuk Radith melumerkan suasana.
Ami dan Abi tertawa kecil. Thanks bro, gumam Fira dalam hati. Setidaknya berkat celetukan Radith, suasana sedikit mencair.
"Kamu nggak apa-apa tinggal sendirian di apartemenmu itu? Ami jadi khawatir. Kamu sering pulang malam dan kamu sendirian," tutur Ami. "Kalau kamu mau, kamu tinggal di rumah aja sama Ami dan Abi."
"Makasih Mi. Bukannya Fira nggak mau tinggal bareng Ami dan Abi, tapi Ami tahu sendiri kan kayak apa jalanan sekarang. Macet dimana-mana. Kalau di apartemen, Fira ke kantor nggak terlalu jauh," sahut Fira. Dulu, sebelum tinggal sendiri, dia tinggal di rumah orang tuanya yang terletak di Cinere. Jarak dan macet antara Cinere dan kantornya di Menteng membuat Fira menyerah dan memutuskan untuk tinggal sendiri. Beruntung dia menemukan apartemen yang tidak terlalu jauh dari kantor dan sesuai dengan keadaan kantongnya.
"Tapi Ami sering khawatirin kamu, nak."
"Fira bisa jaga diri, Mi. Ami dan Abi percaya aja sama Fira." Fira berusaha menenangkan ibunya yang gampang panik itu.
Awalnya, agak susah bagi Fira meyakinkan orang tuanya untuk tinggal sendiri sejak dia mulai bekerja di BLITZ!, sepuluh tahun lalu. Tuntutan pekerjaan Fira yang tak kenal waktu sehingga membuatnya sering pulang malam membuat Fira kewalahan mengatur waktu karena jarak rumah dan kantor yang begitu jauh. Setelah merasa tabungannya cukup, Fira memutuskan untuk membeli apartemen. Dengan berat hati Ami melepasnya, tapi tak jarang pula dia membujuk Fira untuk kembali pulang.
Bujukan itu semakin menjadi-jadi setelah Rena menikah dan mengikuti suaminya, Joseph, tinggal di Australia, negeri asal Joseph. Pun setelah Rena dan Joseph kembali ke Indonesia dan dengan alasan tempat kerja Joseph, Rena menolak tinggal di rumah orang tuanya. Alhasil, hanya Fira yang menjadi sasaran bujukan orang tuanya. Sebenarnya Fira kasihan juga melihat orang tuanya hanya tinggal berdua di rumah besar itu, setelah dua tahun lalu Radith juga memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, setiap akhir pekan, jika dia tidak bekerja, dia menginap disana.
"Abi heran sama kamu," celetuk Abi. "Kenapa kamu masih betah sendiri sampai sekarang?"
Fira tertegun. Skak mat. Pertanyaan pamungkas itu keluar juga.
Kesendirian Fira hingga di usianya yang telah melewati kepala tiga selalu mengundang tanya, begitu juga dengan orang tuanya. Jika dilihat, sebenarnya bukan hal sulit bagi Fira untuk mendapatkan pendamping hidup. Dia cantik, baik, memiliki pekerjaan membanggakan, mandiri, dan juga pintar. Namun, entah apa yang membuat Fira betah melajang hingga sekarang.
"Kamu nggak ingin seperti sepupu-sepupu atau teman-temanmu? Tidak usah jauh-jauh, lihat adikmu, Rena. Kamu tidak ingin seperti dia?" Cecar Ami.
Fira menyesap iced moccha latte-nya. Dari sudut mata bisa dilihatnya tatapan Ami dan Abi yang menusuk langsung ke jantungnya. Rena, adiknya yang lebih muda dua tahun darinya, telah menikah enam tahun lalu. Awalnya orang tuanya tidak rela Rena menikah lebih dulu karena Fira belum menikah. Namun, dengan berbesar hati Fira mendukung keputusan adiknya itu. Sekarang Rena hidup bahagia bersama Joseph dan dua orang buah hatinya, Meredith dan Alex, serta seorang jabang bayi yang masih menetap di dalam perut Rena selama tiga bulan belakangan ini.
"Jangan-jangan benar kata orang-orang tua dulu, mbak. Ini semua gara-gara aku melangkahi mbak," tutur Rena pelan. Nada bersalah terlihat jelas di balik ucapannya itu.
"Kamu ngomong apaan sih, Ren? Hari gini kamu masih percaya sama mitos itu? Ada-ada aja kamu," bantah Fira.
"Fira, hati-hati kalau ngomong," tegur Ami. Bagaimanapun juga, ibunya itu adalah keturunan Jawa asli dan sampai sekarang masih percaya pada hal yang disebut mitos atau pamali.
"Ami, Abi, Rena, dengerin Fira. Fira ada pikiran untuk menikah kok. Hanya saja masalahnya Fira masih belum menemukan pria yang tepat," ujar Fira. "Kalian doain aja, semoga Fira bisa menemukannya."
"Tapi kamu juga harus ingat umurmu, nak," sela Ami.
Bayangan lilin berbentuk angka 32 yang sejak tadi siang menghias kue ulang tahunnya membuat Fira sadar akan usianya yang -kata sebagian besar orang- sudah tidak muda lagi. Namun, Fira tidak mempermasalahkannya. Dia percaya pada waktu and someday, that would be her day.
"Ami percaya sama Fira, ya."
Ami menggeleng pelan. Fira beranjak dari duduknya dan memeluk ibunya. "Ami, Fira sayang sama Ami. Fira nggak akan ngecewain Ami. Ami percaya kan?"
Ami menggenggam tangan putri sulungnya itu erat-erat. Di balik nafasnya yang terdengar berat, Fira masih bisa melihat anggukan samar ibunya.
"Ami, Abi, I believe, one day, that would be my day."
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig