Lajang Terakhir #3

1 comment
Temple Street Night Market
Rata Penuh
Fira mendongak saat seseorang menghempaskan tubuhnya di kursi di sebelahnya. Seketika mood Fira berubah begitu tahu siapa yang telah mengganggu ketenangannya.
Verlita, teman sekaligus pesaing beratnya. Sebaris senyum tersungging di bibir Verlita. "Apa kabar, Fir," sapanya.
"Baik," jawab Fira singkat. Diantara semua kenalannya, dia paling malas berurusan dengan Verlita karena perempuan itu selalu mencari cara untuk menjegal langkahnya.
Verlita Lubis, dialah teman Fira diawal dia meniti karier. Mereka masuk BLITZ! bersama-sama. Meski tampak berteman, namun sebenarnya mereka selalu bersaing, atau setidaknya Verlita-lah yang menjadikan BLITZ! sebagai arena bersaing. Meski telah mengerahkan segala kemampuannya, Verlita harus tetap puas berada dibawah Fira. Titik terang seolah ditemui Verlita saat Fira mengundurkan diri karena melanjutkan kuliah S2 di Milan. Selama kepergian Fira, Verlita tampil cemerlang seolah tanpa saingan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa Verlita-lah yang kelak akan menggantikan posisi Diana, pemimpin redaksi BLITZ! kala itu. Namun, kecemerlangan Verlita terpaksa meredup ketika Fira kembali dari Milan dan memutuskan kembali ke BLITZ!. Fira yang sejak awal sudah menjadi anak kesayangan Diah, tentu saja diterima dengan tangan terbuka. Hal ini membuat Verlita geram. Puncaknya adalah ketika Diana mengundurkan diri tiga tahun lalu. Verlita dan Fira pun bersaing demi tampuk pimpinan BLITZ!. Sama seperti dulu, Verlita tetap belum bisa menyaingi Fira sehingga dengan tenangnya Fira melenggang ke kursi pimpinan.
Verlita geram. Namun, di saat bersamaan, Trisna dari Dwiwarna grup, grup yang membawahi Sophisticated, majalah yang menjadi pesaing utama BLITZ! tengah mendekati Verlita. Setelah proses lobi yang lumayan alot, Verlita keluar dari BLITZ! dan bergabung dengan Sophisticated. Sampai sekarang, dia tetap menjadikan Fira sebagai pesaing beratnya.
"Long time no see," ujar Verlita.
Fira menutup novel yang tengah dibacanya. "Iya. Kita sama-sama sibuk," ujarnya berusaha untuk tetap bersikap sopan.
"Masih sendiri, Fir?"
Strike!
Fira mendecak. Dia boleh jadi selalu berada di atas Verlita, tapi dia harus mengakui kemenangan Verlita akan satu hal, dan Verlita selalu tahu cara membuat Fira mati kutu dengan memanfaatkan kelebihannya itu. Di tengah Fira masih berkutat dengan kesendiriannya, Verlita bisa tersenyum pongah karena berhasil menggaet Hardja, direktur Global Pulp and Paper, perusahaan kertas terbesar di Indonesia.
"Aku masih menikmati kesendirianku, buat apa terburu-buru?" Fira berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing dalam konfrontasi yang disodorkan Verlita.
"Oh, aku pikir kamu serius dengan model itu. Aku sering melihat kalian jalan bareng," cecar Verlita.
"Dia sahabatku."
"Kalian terlihat cocok, meski ya... seperti yang kita tahu, kamu lebih tua dari dia." Verlita melanjutkan omongannya.
"Aku tidak bermasalah berteman dari siapapun, termasuk dari golongan umur berapapun," jawab Fira enteng. Meski begitu, hatinya terasa panas mendengar omongan Verlita. Mungkin latar belakang hubungan mereka yang tak pernah akur membuat Fira menjadi gampang disulut emosi.
Alunan nada Ballade Pour Adrenaline mengalun dari ponsel Fira. Save by the call, gumamnya dalam hati. Setidaknya untuk beberapa saat dia bisa terlepas dari Verlita.
"Aku angkat telepon dulu," ujar Fira dan menjauh dari Verlita.
Nama Rendra tertulis di layar LCD ponselnya.
"Hai, Ren," sapa Fira riang.
"Hai. Kamu masih di bandara?" Ujar Rendra diseberang.
"Iya. Kalau menurut jadwal sih harusnya setengah jam lagi berangkat."
"Ooo gitu. Maaf ya aku nggak bisa anterin kamu ke bandara."
"Nggak apa-apa. Tadi aku berangkat bareng Mario dari kantor. Kebetulan dalam liputan ini, aku ditemani Mario," sahut Fira.
"Kamu berapa lama disana?"
"Hanya empat hari."
"Syukurlah." Nada lega tersirat dalam ucapan Rendra. "I'm gonna miss you."
"Ya ampun, Ren. Jangan kayak anak kecil deh. Kayak aku mau pergi lama aja." Fira tergelak mendengar ucapan merajuk Rendra.
"Iya ampun, mbak Fira." Rendra terkekeh. "Kamu hati-hati disana ya. Have a safe and nice flight."
"Ya. Makasih Ren. See you in Jakarta, soon."
Fira mematikan teleponnya. Dia menoleh ke tempat duduknya tadi dan mendapati Verlita masih disana. Mata Verlita tetap mengawasinya. Fira mendecak kesal. Empat hari keberadaannya di Hong Kong akan terganggu dengan kehadiran Verlita.
Verlita bangkit berdiri dan tampak menuju ke arahnya. Beruntung pada saat yang bersamaan, Amanda, perwakilan dari PRfact, agensi yang mewakili Ocean Park Hong Kong di Indonesia dan bertanggungjawab dalam rombongan media ini, mengumpulkan seluruh anggota rombongan dan mengajak untuk segera masuk ke ruang tunggu.
***
Fira merebahkan tubuhnya di atas kasur. Perjalanan Jakarta-Hongkong cukup menguras tenaganya. Beruntung sepanjang hari ini tidak ada aktivitas berarti sehingga sebagian besar rombongan memilih untuk beristirahat.
Kehadiran Fira di Hong Kong adalah atas undangan dari Ocean Park Hong Kong untuk menghadiri acara launching atraksi terbaru mereka, Aqua City, yang rencananya akan diadakan besok. Dalam acara ini, Ocean Park Hong Kong mengundang berbagai media besar dari seluruh dunia, termasuk lima media besar di Indonesia. Adapun kehadiran Fira adalah sebagai perwakilan BLITZ!.
Niat awalnya untuk sekedar rebahan terpaksa diurungkan karena kantuk segera menyerangnya. Fira tidak lagi sadar akan waktu ketika dia merelakan dirinya terbang menuju rengkuhan mimpi.
***
Fira menyibak tirai jendela. Hamparan langit malam Hong Kong yang bertabur bintang-bintang menyambutnya. Lampu-lampu berpendar dari gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi ruang pandangnya.
Keheningan memerangkapnya. Tidak di Jakarta ataupun di tempat lain, perasaan Fira tetap sama. Sendiri. Sepi.
Helaan nafas berat terdengar ketika Fira menutup tirai jendela. Ini bukan kali pertama dia ke Hong Kong, entah itu untuk sekedar liburan ataupun tugas kantor -seperti saat ini. Namun, sama seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, aura magis yang ditawarkan Hong Kong masih bisa dirasakannya, membuatnya selalu dan ingin selalu kembali kesini.
Tidak ada agenda apa-apa malam ini. Mario sudah memberitahunya bahwa dia akan berkeliling Hong Kong mencari objek foto. Fira merasa bosan di dalam kamar dan memutuskan untuk mencari angin segar diluar. Tanpa pikir panjang, segera disambarnya trench coat yang tersampir di sandaran sofa. Udara cukup dingin dan sedikit berangin malam ini.
Angin malam menyapu Fira ketika kakinya melangkah keluar dari Harbour Plaza, tempat dia menginap. Fira memandang berkeliling. Hong Kong tetap ramai, seolah tak pernah lelah berdenyut. Matanya tampak awas memandang orang yang berlalu lalang dihadapannya. Pasar buah dan sayur yang terletak tepat didepan hotel tampak masih ramai.
Fira tidak tahu hendak pergi kemana. Hanya saja, Hong Kong serasa memanggil-manggilnya, meminta untuk dijelajahi. Negara kecil itu bukan lagi hal baru bagi Fira, bahkan sepotong kecil hidupnya pernah tergores disini.
Shuttle bus datang. Fira menatapnya sejenak. Masih belum terlalu malam. Saat itu juga Fira memutuskan untuk mengunjungi Temple Street Night Market, salah satu tempat favoritnya.
***
Fira menatap dua remaja yang saling bercanda di dalam MTR. Mereka seolah tak peduli dengan keadaan sekitar, tampak asyik berbagi tawa. Remaja perempuan itu pun tak canggung menopangkan kepalanya di pundak teman lelakinya. Mereka tampak akrab. Mereka tampak hangat.
Senyum getir menghiasi bibir Fira. Dirga... Serunya pelan.
Lalu gambar remaja perempuan itu berganti dengan bayangan dirinya, sedang bayangan Dirga terpahat jelas di wajah remaja laki-laki itu.
Dirga, sosok yang pernah mengisi hatinya di masa lalu. Sepuluh tahun lalu, di MTR Tsim Sha Tsui ini, Fira mengenal sosok itu. Di MTR ini juga mereka saling berbagi cerita, tawa, dan kebahagiaan. Selama dua minggu masa liburannya di Hongkong, dilaluinya bersama Dirga.
Hingga di hari kepulangannya, Fira merasa hatinya telah terpikat pada pria itu. Berat rasanya melangkahkan kaki keluar dari MTR di malam terakhir kebersamaan mereka. Namun, satu janji Dirga menguatkan hatinya.
"Aku akan menemuimu, lagi."
Fira tersentak. Bayangan Dirga terekam jelas di ingatannya. Janji itu memang dipenuhi Dirga, tidak lama setelah dia kembali ke Jakarta. Namun, tak pernah ada waktu cukup untuk Dirga. Semakin hari, keinginan untuk terus bersamanya kian erat.
Namun, Dirga bukanlah orang yang bisa diikat. Dia laksana burung, terbang bebas membelah angkasa tanpa satupun penghalang. Dirga memang datang lagi menemuinya, namun hanya sementara. Dia kembali pergi dengan satu janji.
"Aku akan menemuimu, lagi."
Selalu begitu.
Terkadang Fira merasa letih. Dia ingin mengikat Dirga agar selalu didekatnya, tapi dia tidak punya kuasa apa-apa. Pria itu selalu saja terbang dengan sayapnya, tak peduli pada Fira yang memohon padanya untuk tetap tinggal. Fira letih dengan Dirga yang selalu datang dan pergi dalam hidupnya. Tanpa kabar apa-apa, dia muncul di depan pintu apartemen Fira. Dia menawarkan kebersamaan yang begitu menghanyutkan. Namun, saat Fira merasa terjatuh terlalu dalam pada perasaannya, pria itu pergi, tanpa kabar apa-apa. Meninggalkan Fira menanggung rindu sendirian.
Hingga akhirnya keletihannya mencapai puncak. Lima tahun lalu, Dirga muncul di apartemennya pagi-pagi sekali. Wajahnya terlihat kacau karena belum bercukur selama beberapa hari. Fira tetap menyambutnya, seperti biasa. Namun, akal sehat lebih menguasainya dibanding kerinduan.
"Kamu tinggal malam ini?" Tanya Fira, sesaat setelah Dirga membersihkan dirinya.
"Entahlah, Fir," jawabnya pelan.
"Jika kamu berniat untuk pergi lagi, untuk apa kamu datang?"
"Bukankah aku pernah berjanji untuk menemuimu lagi?" Dirga balik bertanya.
"Lalu kamu pikir kamu bisa seenaknya? Datang dan pergi sesuka hatimu?" Cecar Fira.
Dirga menatap Fira dengan tatapan letih.
"Aku tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan diluar sana. Aku bahkan tidak pernah tahu dimana saja kamu. Entah ada berapa perempuan yang singgah di hidupmu." Fira mulai mengkonfrontasi Dirga.
Dirga membisu. Sedikitpun dia tidak berniat membantah tuduhan Fira.
"Kamu pikir aku sandal yang bisa kamu pakai ketika kamu butuh? Ketika kamu menemukan sepatu baru, kamu meninggalkanku?"
Mulut Dirga terbuka, tapi tak ada satupun kalimat meluncur dari bibirnya.
"Aku capek, Dir. Aku capek terus berharap kamu akan datang. Aku juga capek menanggung rindu ketika kamu tak ada. Aku juga capek dengan kejutan akibat kedatanganmu yang tiba-tiba. Aku capek selalu menjadi persinggahan sementaramu."
"Lalu kamu ingin aku seperti apa?" Akhirnya Dirga bersuara.
"Tinggallah bersamaku."
Dirga menggeleng.
"Sebenarnya apa yang kamu cari?"
Lagi-lagi Dirga menggeleng.
Fira putus asa. Ditatapnya Dirga lekat-lekat, tapi Dirga malah membuang muka. Fira menyerah. Ditinggalkannya Dirga dalam kebisuannya.
Malamnya, sepulangnya dia dari kantor, Fira masih mendapati Dirga di apartemennya.
"Apa kamu sudah memutuskan untuk tinggal?"
Dirga menatapnya tajam. Rupanya pria itu masih betah dengan keterdiamannya.
"Dirga..."
"Apa pilihan untukku?"
Fira bernafas berat, seberat keputusan yang telah lama mendiami rongga otaknya. Dia mencintai Dirga, itu nyata, dan dia ingin Dirga tinggal disini, bersamanya. Namun, Fira tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Dirga, juga apa sebenarnya yang dicari Dirga diluar sana.
"Jika kamu memutuskan untuk pergi, jangan pernah berpikir untuk kembali lagi. Aku lelah dengan semua ini."
Fira menyerahkan semuanya kepada Dirga. Dia pasrah. Dia tidak punya kekuatan apapun untuk memaksa Dirga untuk tetap tinggal disampingnya. Dan ketika Fira membuka mata keesokan paginya, dia hanya mendapati sisi kosong di tempat tidurnya.
Tidak ada Dirga.
Burung bebas itu memutuskan untuk kembali mengepakkan sayapnya.
Entah belahan dunia mana lagi yang ingin dipijaknya.
Tess...
Tanpa dicegah, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk Dirga.
Fira tersentak. Bayangan sepi di pagi itu seolah mewujud nyata di malam ini. Segera Fira mengenyahkan bayangan Dirga dari ingatannya. Lima tahun sudah dia pergi, tanpa kabar berita, dan selama itu juga Fira membekukan hatinya. Entah sampai kapan.
MTR berhenti di stasiun Mongkok. Perlahan Fira mengayunkan langkah keluar. Suasana stasiun begitu ramai, sangat kontras dengan kesepian yang menguasai Fira.
Fira melangkahkan kakinya keluar dari pintu D2 stasiun Mongkok. Sekerjap, keramaian Temple Street Night Market menyambutnya. Fira menyusuri pasar malam itu, berbaur dengan keramaian disekitarnya. Dia tidak memiliki tujuan yang jelas. Dibiarkannya kakinya melangkah tanpa arah. Pandangannya tertuju lurus ke depan, menghiraukan deretan pedagang yang menjajakan dagangannya. Semerbak aroma makanan dari berbagai restoran di sepanjang jalan hinggap di penciumannya, tapi Fira sama sekali tak terpengaruh. Dia terus berjalan, hingga akhirnya matanya tertumbuk pada sebuah resto ramen di ujung jalan.
Resto itu selalu ramai, tidak dulu maupun sekarang. Penjual yang sudah separuh baya itu tampak kewalahan menyiapkan ramen yang tak henti-hentinya di pesan.
Sekelebat kenangan kembali menghinggapi alam pikirannya. Fira seolah bisa melihat dirinya sepuluh tahun lalu, tampak begitu muda dan bersemangat. Semangkok ramen berada dalam pegangannya. Resto itu penuh dan dia terpaksa berdiri. Fira tidak peduli selama disebelahnya ada Dirga, pria yang dikenalnya di MTR.
Dirga, tampak misterius sekaligus hangat dalam waktu bersamaan. Senyumnya yang selalu meninggalkan lubang dalam di pipi kiri, membuat Fira terpikat. Tatapan mata tajam, berpadu dengan alis tebal dan bulu mata lentik membuat Fira tak henti-hentinya menyelami kedalaman mata itu. Rahang tegas dengan bekas cukuran disepanjang dagu menambah nilai plus Dirga dimata Fira. Tubuh Dirga yang sedang, tidak terlalu tinggi dan cenderung kurus, terbukti mampu memerangkap Fira dalam pesonanya.
Eh? Fira tertegun. Mengapa dia bisa begitu lancar menyebutkan bayangan Dirga, seolah-olah pria itu mewujud nyata dihadapannya sekarang.
Fira tertegun. Tidak, itu bukan sekedar bayangan. Tidak jauh didepannya, berdiri seorang pria yang juga menatapnya. Ekspresi kaget terlihat jelas disana.
"Dirga?" Desis Fira.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig