Ganteng
Oleh: Ifnur Hikmah
(Another Carissa + Mike Story)
“Ganteng…”
Pria di sebelahku itu hanya
melirik sekilas sebelum kemudian kembali menekuni Macbook-nya, sibuk
bercengkrama dengan AutoCAD. Sekilas terlihat tampilan gambar rumah yang sama
sekali tidak kumengerti.
“Ganteng...” Panggilku lagi. Kali ini
disusul dengan sebuah colekan di pinggangnya yang telanjang.
“Apa sayang?” tanyanya sambil
lalu. Matanya tetap terarah ke layar Macbook.
“Ganteng…” Sekali lagi aku
menggodanya. Kali ini sambil berusaha keras menahan tawa.
Mengganggu Mike yang sedang sibuk
bekerja merupakan salah satu keisenganku. Lagipula, aku bosan dicuekin begini. Dia
lebih memilih bercengkrama dengan pekerjaannya ketimbang aku, padahal
jelas-jelas ada aku terbaring di sampingnya. Siap menyambut kehadirannya di
dalam pelukanku.
Selain itu, aku tahu dia risih
dengan panggilanku barusan, dan aku cukup iseng dengan terus-terusan
memanggilnya dengan pangilan ‘ganteng’.
Semuanya gara-gara Jo, sepupu Mike
yang masih remaja itu. Dia tidak henti-hentinya tertawa ketika di suatu pagi
aku kelewat iseng memanggil Mike dengan sebutan itu saat hendak sarapan. Sejak itu,
Jo tidak henti-hentinya meledek kami. Dia baru akan berhenti jika abangnya –panggilan
sayang Jo untuk Mike- menggelitiknya habis-habisan.
“Abang ganteng…”
Berhasil. Panggilanku –atau mungkin
sikapku yang annoying- berhasil
membuat Mike menoleh ke arahku.
Bonus, tatapan kesal dan wajah
siap menyemburkan kemarahan.
Aku mengulum senyum. Come on. Ada perempuan cantik sepertiku
tidur-tiduran di sampingnya, mana mungkin dia mau memarahiku –meski jelas-jelas
aku sudah mengganggunya.
“Ini sudah malam, kenapa kamu
belum tidur?”
“Mau tidur sama abang ganteng,”
jawabku semanja mungkin.
“Udah sana tidur, daripada ganggu
aku.”
Selesai berkata seperti itu, Mike
kembali menekuni layar Macbook.
“Ih ganteng nggak asyik ah,”
godaku lagi, kali ini seraya merebahkan kepala ke pangkuannya, tepat di hadapan
Macbook. Tindakanku ini jelas menganggunya, terlebih pergerakan tangannya di keyboard Mac.
Aku tertawa dalam hati. Siapa suruh
berlaku cuek seperti itu?
“Sayang, bantalnya ada di sana.”
Aku menggeleng. “Lebih enakan
perut kamu ketimbang bantal.”
“Tapi aku lagi kerja.”
“Salah kamu kerja di tempat tidur
begini. Tempat tidur kan buat tidur, bukan kerja.”
“Tadi aku mau kerja di luar nggak
boleh. Kamu kan yang nyuruh aku kerja di sini?”
Kembali keisenganku muncul. Kukecup
perut rata minus lemak yang kujadikan bantal itu. Tak ayal, tindakan spontanku
itu membuat Mike menggelinjang kegelian.
“Sayang, aku mau kerja.”
Pura-pura menolak, eh? Suara tawaku
kian kencang –masih dalam hati tentunya.
“Sayang…”
Sekali lagi kucium perut itu –sedikit
agak ke bawah.
“Icha…”
Wow. Jarang-jarang dia memanggilku
dengan nama kecilku itu. Terakhir, dia memanggilku dengan sebutan itu di salah
satu malam panas kami di Solo.
“Cha, aku lagi deadline. Tolong ngertiin aku dong.”
Aku tersenyum. Betapa ucapan dan
perbuatannya saling tidak sinkron. Perkataannya memintaku untuk segera pergi
tetapi tangannya malah terulur membelai rambutku.
Dan aku lebih percaya tindakan
ketimbang ucapan.
“Sayang, aku lagi kerja. Kalau aku
nggak bisa nepatin deadline,
proyeknya bisa gagal. Kalau proyeknya gagal, kamu juga yang nanggung. Ayo,
siapa tadi yang bilang mau dibeliin Birkin?”
Crap!
Niat menggoda Mike, malah dia yang
menggodaku.
Refleks cubitanku melayang ke
pahanya.
“Aww… sakit tahu.”
“Biarin. Abis kamu ngeselin.”
“Kok aku yang ngeselin? Yang dari
tadi gangguin orang lagi kerja kan kamu.”
Kuputar tubuhku hingga bisa
menatapnya. Tidak lupa kupasang wajah tersinggung semaksimal yang aku bisa.
“Omongan kamu itu ngeselin tahu. Kesannya
aku istri kurang ajar yang kerjanya cuma morotin suami,” sungutku.
Mike tertawa lebar. “Ya nggak gitu
juga sih.”
Aku masih cemberut.
“Iya.. iya.. aku udahan nih
kerjanya.”
Yess... aku bersorak dalam hati. Sekali lagi, aku berhasil
mengacaukan konsentrasinya.
“Aku udah nutup file-nya. Udahan ya ngambeknya.”
Still. Wajah cemberutku masih setia terpampang dihadapannya.
“Maafin ucapanku barusan deh. Aku nggak
ada niat menyinggung perasaan kamu.”
Susah payah aku menahan bibir agar
tidak tertarik ke samping membentuk senyuman.
“Macbook-nya udah mati nih.”
Pertahananku gagal. Sebuah senyum
simpul menghiasi bibirku. Dan itu cukup menjadi pertanda bagi Mike kalau selama
ini aku hanya pura-pura ngambek.
“Kamu itu ya. Paling bisa bikin
aku gemes.”
Mike meletakkan Macbook beserta
kertas yang tadi bertaburan di kasur ke atas nakas di sisi kanannya. Tanpa berkata
apa-apa, dia meraupku ke dalam pelukannya dan membaringkanku di sisinya. Sebuah
ciuman dalam yang lembut mampir di bibirku.
“Ganteng…”
Senyuman di wajah itu mendadak
hilang. Sedang aku semakin heboh menggodanya.
“I love you, ganteng.”
“I love you too.” Mike mencium keningku lama. “And stop calling me ganteng.”
Sontak aku tertawa. Namun hanya
sebentar karena Mike keburu membungkam tawaku dengan ciumannya.