The Hardest Goodbye
Step by Step
Step by Step
Oleh: Ifnur Hikmah
Apa yang diharapkan oleh seorang hopeless romantic saat dilamar? Berbuket-buket bunga, candle light dinner, alunan musik jazz nan romantis, barisan kata-kata gombal bernada manis, cincin bermata berlian yang berkilauan ditiimpa sinar lampu di restoran mewah, pemandangan kota saat malam dari atas ketinggian lantai 30, dan janji untuk happily ever after? Percayalah, hingga di usiaku yang hampir menginjak kepala tiga, sisi romantisme –yang sayangnya berlebihan- masih kupertahankan.
Namun, saat satu-satunya momen romantis yang diberikan Panji hanyalaah terjebak macet di Sudirman, dan Jamie Cullum mengalun dari stereo and he kiss me passionately, kurasa keinginan untuk merasakan lamaran super romantis hanya tinggal angan belaka. Lagipula, alih-alih merasakan lamaran super romantis, pembicaraan sekilas mengenai niatnya untuk mengajakku ke jenjang pernikahan saja tidak pernah.
Yeah, boys always weill be boys. Selama dia masih sering membatalkan janji kencan denganku di malam Minggu hanya karena Arsenal sialan itu tanding, rasanya keinginan untuk membina rumah tangga masih berada jauh di depan matanya.
Argh… aku menarik nafas putus asa.
Well, mungkin aku tidak akan kesetanan seperti ini jika saja orang tuaku tidak mendesak.
“Kamu tahu kan nduk kalau bapak udah tua?”
Aku hanya mengangguk. Usia 65 tahun memang sudah tua, tapi ayahku yang pensiunan TNI ini masih terlihat segar kok di usia segitu.
“Ibu juga, nduk.”
Begitupun dengan ibuku. Aku berharap masih bisa secantik dan seanggun dia saat sudah berumur nanti.
“Kamu tiap kali Bapak tanya cuma ngangguk-ngangguk, nggak pernah ngasih jawaban.”
“Jawaban apa, Pak?”
“Kapan kamu nikah?”
Strike one.
Aku bukannya belum siap untuk membina rumah tangga. Sumpah demi Tuhan, lahir bathin aku siap. The husband-to-be? Checked. Financial? Checked. Restu orang tua? Dari kapan tahu udah dapet. Love each other? Banget –bahkan cintaku sama Panji lebih besar daripada cinta pada diri sendiri. Jadi, tunggu apalagi?
Ya tunggu Panji melamarku.
Nah, jika Bapak bertanya kapan aku akan menikah, aku juga bertanya, kapan Panji akan melamarku?
“Kamu besok mau kemana?”
Aku tersentak. Sepertinya Panji bertanya sesuatu?
“Dew?”
“Ya?”
“Kamu ngelamun ya?”
Bukan melamun, Panji, tapi mikirin masa depan kita.
“Aku nanya kamu besok mau kemana?”
“Belum tahu.”
“Nggak jadi pulang?”
“Aku baru aja pulang minggu lalu. Bapak nanya kamu kenapa nggak ikut. Aku bilang kamu lagi ke Surabaya.”
Meskipun orangtuaku tinggal di Bogor, aku memutuskan untuk menyewa apartemen sendiri di Jakarta. Jalanan macet kujadikan alasan padahal alasan utamaku hanyalah karena orang tuaku sudah sibuk menyuruhku menikah sejak lima tahun lalu. Suruhan itu kian menjadi-jadi setelah aku pacaran dengan Panji, pria yang langsung mendapat prediket calon menantu idaman dari ibuku.
“Bapak dan ibu sehat?”
Aku mengangguk.
Lalu keheningan kembali menjelma diantara kami.
Kadangkala jalanan macet bisa menimbulkan suasana romantis dengan sendirinya. Saat mataku menoleh ke sebelah kiri, kulihat pasangan yang ada di mobil sebelah sedang berciuman. Kutaksir usia mereka masih di awal dua puluhan, masih memiliki jiwa yang menggelora.
“Dasar bocah.” Kudengar Panji bergumam. “Kayak nggak bisa nunggu sampai tiba di rumah aja.”
Aku terkikik. “Seingatku dulu juga ada yang nggak sabaran sampai maksa ceweknya ciuman di mobil.”
Panji menjawil hidungku. “Aku nggak pernah maksa ya. Kamunya aja yang nggak pernah bisa nolak.”
He’s such a damn good kisser, bagaimana aku bisa menolak?
Kembali mataku melirik ke mobil sebelah. Mereka sudah selesai berciuman tapi masih saling merangkul. Bisa saja sekarang ini mereka tengah merencanakan masa depan. Shit! Mereka masih terlalu muda untuk membicarakan hal serius itu. Seharusnya aku dan Panji-lah yang sibuk membahas masalah ini. Namun Panji sama sekali tidak menyinggungnya. Alih-alih dia malah asyik menyanyi mengikuti lagu jadul milik NKOTB. Coba ya yang diputer tuh Jamie Cullum atau Diana Krall, mungkin aku bisa mengorek sedikit jiwa romantis Panji. Tapi NKOTB? Yang ada Panji malah sibuk joget-joget norak sendiri.
Nasib… nasib…
“Aku paling suka nih Step bu Step.” Tiba-tiba Panji menyeletuk.
“Kamu sudah bilang itu 299 kali.”
Panji terkekeh. “Kamu ngitungin?”
Awalnya aku tidak berniat, tapi itu terjadi dengan sendirinya karena Panji selalu melontarkan kalimat yang sama setiap hari sampai-sampai aku eneg. Menghitung berapa kali pria yang kamu cintai melontarkan kalimat seputar lagu favoritnya sama sekali bukan tindakan romantis ya?
“Kalau aku bilang sekali lagi, aku paling suka Step by Step, berarti sudah masuk hitungan ke-300 ya?”
“Lucu, Ji, lucu.” Aku tertawa garing.
Panji ikut tertawa, tetapi kali ini tangannya terulur menyentuh rambutku. Sebuah kemajuan dari seorang Panji Purnadiredja.
“Tapi aku belum bilang kan alasan aku menyukai lagu ini?”
Aku menggeleng. Pipiku terasa panas akibat sentuhan Panji. Dewinta norak, kayak baru pertama kali pacaran aja. Aku memaki diriku sendiri.
“Kamu dengerin part ini deh.”
Aku pun menuruti perkataannya dengan mendengarkan lagu yang, jujur ya, nggak ada bagus-bagusnya ini.
Step one, We can have lots of fun
Step two, There's so much we can do
Step three, It's just you and me
Step four, I can give you more
Step five, Don't you know that the time is right
“Don’t you know that the time is right, Dewinta Maharani?”
Aku menggeleng.
“Don’t you know that the time is right for me to ask you to be my wife?”
Kalimat yang diucapkan dengan nada santai, sesantai dia mengucapkan “Aku numpang nonton bola di apartemenmu ya, Dew”, ini sukses membuatku melongo.
“Aku memang nggak pernah bisa menyaingi jiwa romantismu itu. For God sake, Dew, harusnya aku yang ngirimin kamu kartu lucu-lucu atau pesan-pesan konyol, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Aku nggak romantis bukan karena aku nggak sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu, tapi aku ya begini.”
Mulutku semakin menganga lebar. Panji memang tidak pernah romantis, tapi setiap tindakannya selalu penuh kejutan. Memintaku jadi istrinya di tengah-tengah macet? Entahlah, rasanya itu sungguh manis.
“Pertama, aku janji akan memberikan kebahagiaan untukmu. Kedua, kita bisa ngelakuin banyak hal gila berdua, like we always did. Ketiga, hanya ada kita berdua, tinggal bersama, nggak kepisah lagi. Keempat, I give you everything because I love you so much. Dan kelima, don’t you know that the time is right for me to ask you to be my wife?”
Tanpa berkata apa-apa, aku refleks memeluk Panji. Forget about candle light dinner, view from 30th floor, flowers, romantic yet cheesy sentences and all romantic things that I want because right now, this is the most romantic thing that ever happened to me.
Meski nggak ada lagu jazz, hanya suara cempreng NKOTB.
Meski nggak ada restoran mewah, hanya jalanan macet Sudirman.
Meski nggak ada candle light dinner, hanya sekotak pizza dingin.
Meski nggak ada cincin bertahtakan berlian, hanya kecupan singkat di dahi.
Tapi yang penting, ada aku dan Panji.
PS: Kepikiran karena lagi dengerin Step by Step NKOTB dalam rangka pemanasan menuju konser mereka.
Ada Apa Dengan 15?
Anything can happen in 15 days.
Nggak percaya? Well, itu terserah lo sih, hehehe.
Banyak hal bisa terjadi dalam 15 hari. Seseorang bisa jatuh cinta dalam hari, pacaran hanya 15 hari, dari mesra-mesraan jadi benci-membenci dalam 15 hari, pengangguran 15 hari *curcol*, 15 hari mencari jodoh, dan lain-lain.
Sebenarnya ada apa sih dengan 15 hari? Well, ini tentang kegiatan yang baru aja gue jalani.
Semuanya berawal dari keasyikan melihati timeline trus ada yang nge-RT twitnya @WangiMS dan @momo_DM. Well, gue nggak follow mereka ya awalnya. Katanya, ini dua orang, yang entah kurang kerjaan apa kerajinan banget, lagi bikin proyek #15HariNgeblogFF. Intinya itu, yang ikutan disuruh bikin flash fiction dari judul yang sudah ditentukan selama 15 hari berturut-turut trus diposting di blog.
Waktu itu gue berpikir, seru juga kali ya? Dari pemikiran iseng lalu berlanjut jadi rutintas.
Jadi, setiap hari kerjaan gue, sebelum mulai kerja ya, kunjungin blognya Wangi, liat judul, bengong lima menit, trus nulis, lalu posting. Trus blogwalking ke blog lain yang ikutan juga. Padahal nih ya, gue nggak tahu juga ini yang punya blog siapa, hehehe.
Keuntungannya? Well, dalam proyek ni gue bikin deadline sendiri. 30 minutes for one F. Gila? Bodo amat. Kapan lagi gue bisa nantangin diri sendiri, hehehe. Jadinya, maklum aja ya kalau ada cerita gue yang bikin lo berkomentar ‘ih… ini apaan sih?’ karena emang waktunya cuma 30 meit, hehehe.
Hebatnya, gue nggak absen seharipun. Yeaiiii…
Kayaknya gue emang butuh deh yang kayak-kayak gini biar blognya nggak mandeg disana-sana aja. *jadi inget bulan Desember aktif ngeblog juga gara-gara ikut proyek isengnya Fhia, ;p*.
Selain nantang diri sendiri, ini proyek juga bikin nambah temen, dan tentunya bikin page view blog meningkat drastis, hahaha. Juga, saling berkomentar atau cuma sekedar ninggalin pesan ‘unyukkk’ di blog masing-masing. Jadi, kalau sekarang tiba-tiba suntuk nggak tau mau ngapain blogwalking ke blog-blog ini aja, hehehe.
So, in this moment, I wanna say thank you for @WangiMS and @momo_DM. Ditunggu proyek-proyek selanjutnya. Dan untuk kalian yang saling kenal berkat proyek ini, jangan putus sampai disini aja ya hubungan kita, hehehe.
Keep writing and blogging and go fishing *yang terakhir nggak nyambung emang, hehehe*
FF15: Menikahlah Denganku
Oleh: Ifnur Hikmah
“Anytime, dear. Lo tahu kan gue akan ngelakuin apapun asalkan lo bahagia?”
Tidak terhitung sudah berapa kali kalimat itu meluncur dari bibirku semenjak kita berkenalan sepuluh tahun lalu. Semenjak kita memutuskan untuk bersahabat di hari pertama kuliah, aku sudah bertekad untuk melakukan apapun asalkan kamu bahagia.
Apapun. Karena aku rela melakukan apapun demi perempuan yang aku cintai.
Termasuk pura-pura menjadi kekasihmu hanya karena kamu ingin terlihat baik-baik saja di mata mantan kekasihmu. Aku rela menjalankan peran ini meskipun hingga sekarang aku masih berharap benar-benar menjadi kekasihmu.
Sayangnya, kata sahabat memaksaku untuk membungkam pernyataan cinta. Terlebih, kamu sudah lebih dulu jatuh ke pelukannya.
“Lo nggak apa-apa, Cha?”
Aku bukannya khawatir karena sepatu hak tinggimu itu bisa membuat langkahmu limbung. Aku juga tidak khawatir gaun tanpa tali yang kamu kenakan itu melorot di tengah-tengah pesta. Aku juga tidak khawatir kamu akan pingsan karena gaun ketatmu itu tidak memungkinkanmu melahap kambing guling kesukaanmu. Yang aku khawatirkan adalah kamu masih belum bisa menerima kenyataan mantan kekasihmu menikahi perempuan lain dan membuatmu kembali menarik diri ke lubang patah hatimu.
“Gue nggak apa-apa.”
Aku tahu kamu bohong. Matamu menyiratkan kebohongan itu. Bagaimana mungkin kamu baik-baik saja padahal sudah satu jam lebih kita berdiri di sini dan kamu masih saja dihinggapi keraguan untuk bersalaman dengan pengantin?
“Kita maju yuk, biar bisa pulang cepat.”
Kamu menggeleng. “Gue masih lapar. Nyari makanan lagi aja ya.”
Kamu mengajakku ke stand Japanese food. Seperti biasa, aku hanya bisa mengekor. Aku tahu nasib sushi yang sedang kamu ambil itu akan berakhir sama seperti makanan-makanan lainnya, berakhir di perutku karena kamu tidak sanggup makan sedikitpun.
Segitu besarkah kesedihanmu itu, Cha?
Tell me how to stop your tears. Tell me how to stop your sadness? Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Pundakku telah basah akibat air matamu. Pelukanku selalu ada setiap kali kamu membutuhkanku. Mulutku sudah berbusa-busa dengan berbagai nasihat yang bisa membangkitkanmu. Tapi kamu masih menangis. Masih bersedih. Masih terluka karena perbuatan Dimas.
“Stella cantik ya, Ka.”
Ucapanmu itu menyentakku. Kupandangi kamu yang malah memandangi sepasang pengantin itu.
“Dia terlihat bahagia. Apa gue bisa sebahagia itu juga saat menikah?”
“Tentu saja.”
“Gue rasa nggak. Gue nggak akan sebahagia itu karena Dimas sudah menjadi milik Stella.”
“Masih ada pria lain kok, Cha.”
“Lo tahu kan, Ka, kalau gue cinta banget sama Dimas.”
“But he doesn’t. Lo liat saja dia bahagia banget di pelaminan sana.”
Ucapan ku kembali memantik kesedihan Echa. Bisa kulihat butiran bening bermain di mata bulat yang selalu memikatku itu.
“Sorry, Cha. Gue nggak bermaksud…”
“Nggak apa-apa, Ka. Lo benar.”
Kurangkulkan lenganku ke pundak yang terkulai lemah itu. “Lo tahu kan, Cha, kalau gue rela ngelakuin apapun asalkan lo bahagia?”
Echa mengangguk.
“Sekarang bilang apa yang bisa gue lakuin agar lo bahagia.”
“Gue ingin bisa sebahagia Stella, Ka.”
Kualihkan tatapanku ke arah Stella yang sibuk menyalami tamu. Senyum tidak pernah lepas dari wajah cantik itu. Ah, dimana-mana perempuan memang terlihat paling bahagia di balik balutan gaun pengantin.
“Lo bisa kok sebahagia Stella asalkan lo mau membuka hati dan lupain Dimas.”
“Gue nggak yakin, Ka.”
“Lo harus yakin.”
“Dimas dan gue itu pacaran lima tahun lebih. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Kenangan diantara kita itu udah banyak banget.”
“Tapi kenangan ya selamanya akan jadi kenangan. Dimas sudah menatap masa depannya bersama Stella. Lo juga harus menatap masa depan lo.”
“Bersama siapa?” Telingaku bisa menangkap keputusasaan di balik suara lirih itu.
“Bersama gue.”
Baik aku maupun Echa, kami sama-sama menegang akibat kalimat singkat yang refleks meluncur keluar dari bibirku.
“Maksud lo?”
Aku gelagapan. Terlanjur basah, Oka.
“Lo bisa menatap masa depan lo bersama gue. Mungkin gue nggak setampan atau semapan Dimas, but I love you more than him. I love you for ten years.”
Mungkin bukan saat yang tepat menyatakan cinta di pernikahan orang lain, terlebih di pernikahan mantan kekasih perempuan yang kucintai dan masih dicintai perempuan itu. Namun kurasa sepuluh tahun menunggu sudah cukup.
I am alone now, and so does she. And she needs someone to rely on.
“Gue bia janjiin kebahagiaan buat lo meski gue bukan seorang pria romantis. Lo tahu kan gue akan ngelakuin apa aja asalkan lo bahagia? So, menikahlah denganku.”
Piring berisi sushi di tangan Echa terjatuh ke lantai. Aku tidak tahu apakah itu berarti iya atau tidak. Namun yang pasti, aku sudah mengeluarkan apa yang terpendam selama sepuluh tahun ini.
I wanna marry this women. So much.
#15HariNgeblogFF Day 15 "Menikahlah Denganku." Kelanjutan dari "SAH" *Hari ini dua FF, hihihi*