Meet The Writer: Dyah Rinni
Oke, setelah baca review
Unfriend You ini, rasanya enggak lengkap kalau enggak sekalian ngobrol sama penulisnya. Thank you Dyah udah ngasih kesempatan buat ngobrol tentang buku ini, proses penulisan, sampai diskusi soal bullying segala. So, keep reading dan moga bermanfaat, ya. Jangan lupa ikut giveaway juga di postingan review itu.
Sejak kapan, sih, kamu suka nulis? Apakah kamu
langsung nulis novel atau bertahap, seperti cerpen dulu, terus novella, dan
novel?
Aku sebenarnya nggak akan sadar
kalau aku suka nulis kalau bukan karena guru SD-ku. Waktu itu, aku kelas 5 SD
dan disuruh ikut lomba mengarang. Padahal, aku pengin ikut lomba gambar.
Setelah selesai lomba, guruku memuji bahwa tulisanku lebih bagus dari tulisan
anak kelas 6 SD. Anak kecil, gitu lho, mendapat pujian seperti itu dari gurunya.
Dari situ, aku bersemangat banget untuk terus menulis, sampai sekarang.
Pada awalnya, aku menulis cerpen.
Itu kulakukan sampai kuliah. Waktu itu berbeda dengan sekarang di mana anak SD
sudah mendapatkan peluang untuk menulis novel. Jadi, tulisan-tulisan itu ya
paling jauh hanya muncul di majalah. Itu pun hanya kadang-kadang. Baru setelah
lulus kuliah, aku memberanikan diri menulis novel.
Bisa diceritain enggak ide Unfriend You ini dari
mana? Plus, proses kreatif kamu ketika menulis novel ini.
Ide Unfriend You datang ketika suatu hari aku main ke Redaksi Gagas
Media. Dari hasil obrolanku dengan editor Gagas, Christian Simamora, akhirnya
muncul ide tentang membuat novel yang mengangkat tema bullying di kalangan remaja perempuan. Jadi ide Unfriend You, bukan murni berasal dari
aku. Dari situ, aku mulai riset kecil-kecilan mengenai bullying, mulai dari membaca buku psikologi tentang bullying dan kekerasan di sekolah sampai
novel yang pernah mengangkat tentang bullying.
Kenapa kamu mengangkat isu bullying? Memang, sih, sekarang bullying
sedang hangat-hangatnya. Apa kamu memanfaatkan momen ini atau ada alasan
personal lain? Termasuk alasan kenapa kamu memilih sudut pandang penonton?
Bullying menarik
untuk diangkat karena sebenarnya bullying
ini penting, tapi nggak dianggap penting atau serius. Seringkali remaja menganggap bahwa mengatai
temannya adalah hal yang biasa. Begitu juga dengan orang tua dan guru,
menganggap bullying membantu anak
supaya lebih tegar di masa depan. Masalahnya,
nggak semua orang sama. Efek bullying
bisa beragam, mulai dari nggak percaya diri, stres, depresi atau bahkan dalam kasus
yang ekstrim, bunuh diri.
Alasan kenapa aku mengangkat
sudut pandang penonton adalah dari sudut penonton, aku bisa melihat dinamika
hubungan pelaku dan korban (duh bahasanya berat ya ^_^) dengan lebih jelas dan
objektif. Nggak berat sebelah, gitu. Dan itu yang ingin aku sampaikan ke
pembaca, bahwa kita harus melihat bullying
sebagai satu masalah yang utuh, bukan sekadar siapa yang salah dan siapa yang
benar. Semua orang (guru, sekolah, orang tua, teman) juga punya peranan kok di
dalam bullying. Kitanya aja yang kadang-kadang nggak sadar.
Apakah ada hidden
message di balik alasan kamu mengangkat isu bullying ini? He-he-he.
Hidden message
kaya' apa? Kaya' balas dendam sama seseorang, gitu? Hehe, enggak kok. ^_^ Aku
memang pernah dibully, tapi itu udah lama banget dan aku nyaris nggak ingat
sampai kemudian aku menulis Unfriend You.
Pesan yang aku ingin sampaikan
sih sederhana aja, perlakukan teman kamu secara setara, seperti kamu ingin
diperlakukan. Kalau semua orang saling menghormati, nggak merasa lebih tinggi
atau lebih baik dari yang lain, kita bisa menghentikan bullying.
Cara kamu menulis itu remaja banget dan aku bisa
menangkap feel Egan. Riset yang kamu lakukan apa aja, sih?
Riset yang aku lakukan sederhana
aja, kok. Banyak membaca, mulai dari novel remaja yang aku anggap bagus sampai
buku-buku psikologi tentang remaja. Aku juga dibantu editor Gagas Media yang
memberikanku skripsi tentang bullying
di SMA. Kebetulan adikku adalah guru
SMA. Jadi aku banyak konsultasi dengan dia bagaimana respon guru terhadap kasus
bullying atau bagaimana hubungan
sosial di SMA.
Apa kamu pernah bersinggungan langsung dengan
bullying sebelumnya?
Iya, aku pernah dibully waktu
SMP. Masalahnya sih ya apa lagi kalau bukan karena kakak kelas yang cute itu. ^_^ Pelakunya teman dekat aku
sendiri, ramai-ramai menghakimi aku. Dengan kata-kata sih, nggak sampai separah di Unfriend
You. Tetapi bukan berarti novel ini semacam balas dendam, ya karena
sebenarnya aku juga sudah lupa kejadian ini sampai kemudian aku menulis tentang
bullying.
Menurut kamu sejauh mana sih pentingnya seorang
penulis mengikuti tema yang sedang hangat dibicarakan? Dan apakah kesempatan untuk
diterbitkan lebih besar ketimbang mengambil ide lain?
Penulis yang mengangkat tema yang
sedang hot tentu akan lebih cepat
menarik perhatian, baik pembaca maupun penerbit. Peluang di penerbitan tentu
juga akan lebih besar karena bagaimana juga penerbitan adalah bisnis. Namun
buatku, apapun yang ditulis seorang novelis haruslah menarik. Pada akhirnya
yang tahan lama di hati pembaca adalah cerita yang bagus, bukan cerita yang
dibuat berdasarkan tema yang sedang tren atau tidak tren.
Menurut kamu, ada tips dalam memilih PoV yang tepat
enggak dalam menuliskan suatu cerita? Karena, kan, enggak semua cerita cocok
dengan poV satu atau tiga atau bahkan dua.
Betul banget. Untuk memilih POV
(Poin of View), kita harus memahami kebutuhan cerita itu sendiri. Cerita-cerita
yang berhubungan dengan konflik batin, akan lebih menarik jika diungkapkan
dengan sudut pandang orang pertama (aku). Dengan demikian, pembaca bisa larut
dalam pergolakan batin si tokoh itu sendiri. Tetapi untuk cerita yang
melibatkan banyak aksi atau tantangannya berasal dari luar, sudut pandang orang
ketiga mungkin lebih menarik. Karena itu, cerita-cerita thriller,misteri dan lain-lain terasa lebih seru ketika diungkapkan
dalam sudut pandang orang ketiga.
Sebenarnya, Unfriend You bisa dibuat dengan POV orang pertama, yaitu Katrissa.
Tetapi, aku ingin pembaca bisa membaca bullying
secara utuh, nggak cuma perasaan Katrissa saja. Selain itu, ada beberapa adegan
yang lebih hidup ketika diungkapkan dari sudut pandang Langit, Aura ataupun
Priska, meskipun porsi Katrissa jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
karakter lainnya.
Proses revisinya sendiri lama enggak? Apakah ada
bagian yang kamu pengin banget ada tapi editor malah nyaranin untuk dicut?
Proses revisinya nggak terlalu
makan banyak waktu. Jia Effendie, editorku, hanya memberikan sedikit catatan
yang menurutku memang diperlukan untuk kebaikan naskah. Unfriend You hanya sekali direvisi dan kemudian langsung di-lay out. Memang ada adegan yang
dipotong, tetapi bukan adegan yang aku suka banget. Sebaliknya, dari awal
adegan itu membuat aku bimbang, antara antara mau dimasukkan atau dibuang saja.
Akhirnya setelah aku bicara dengan mbak
Jia, kami sepakat membuang adegan itu. Mungkin karena itu semua penulis butuh
editor karena penulis selalu membutuhkan mata kedua untuk menilai karyanya.
Sedang ada progress dalam menulis novel selanjutnya?
Awal tahun depan, Insya Allah,
akan terbit novel remajaku dari penerbit Gagas Media. Aku kasih bocoran
sedikit, tentang kehidupan anak seorang
penipu. Saat ini, aku sedang merancang novel romance, tapi masih dalam tahap awal banget.
Kamu suka bikin target enggak harus menyelesaikan
sebuah novel dalam waktu berapa lama? menurut kamu, target waktu itu penting
enggak?
Aku selalu punya target
menyelesaikan novel. Rata-rata waktu yang aku butuhkan adalah 2 bulan, lengkap
dengan risetnya. Unfriend You mampu aku selesaikan dalam waktu 45 hari, rekor
tersendiri buatku. Aku rasa semua orang yang serius ingin jadi penulis, harus
menetapkan target, entah dalam bentuk waktu (1 tahun, 3 bulan dan lain-lain)
atau dalam bentuk target halaman (1 halaman per hari misalnya). Hidup aja punya
batasan waktu, kok. Kenapa nggak kita terapkan hal yang serupa untuk novel?
Tanpa ada target, percaya deh novel itu hanya akan selesai kapan-kapan.
Dari skala 1-10, kamu menilai novel debutmu ini di
angka berapa? Alasannya?
Unfriend You
mewakili banyak hal yang ingin aku raih dalam sebuah novel: deretan karakter yang menarik, plot yang cepat dan nggak mudah ditebak, dan
juga isu dan pesan yang dalam. Aku juga bersenang-senang dalam membuatnya,
sesuatu yang nggak aku duga karena tipe ceritanya yang lumayan 'berat'. Kalau
aku harus ngasih nilai buat novelku sendiri, aku ngasih nilai 8.
Kalau boleh berandai-andai, kamu mau enggak menulis
cerita di luar comfort zone kamu (dari segi PoV atau tema)? Jika iya, kamu mau
bikin yang kayak apa?
Aku ingin banget bisa membuat Historical Fiction, Fantasy dan juga Science Fiction. Aku pernah menulis
fantasi, tapi hasilnya nggak keruan. >.< Akan menarik kalau suatu saat
aku bisa membuat cerita yang menggabungkan unsur sejarah Indonesia, mungkin
semacam alternative history, dengan
unsur steampunk.
Untuk karakter, selama menulis ini kamu punya
character chart enggak? Atau tokoh yang kamu bayangkan mewakili Katrissa, Aura,
Milani, Priska, jonas, Langit? Dan, untuk gambaran sekolah sendiri, Egan itu
yang ada di bayangan kamu selama menulis sekolah apa?
Sebelum menulis, aku membuat character bible. Isinya hanya
sifat-sifat tokoh itu secara sekilas, apa yang dia suka dan tidak suka, apa
tujuan hidupnya dan juga beberapa catatan tentang latar belakang
kehidupannya. Biasanya character bible-ku nggak terlalu
panjang, kecuali tokoh utamanya.
Kebanyakan karakter di Unfriend You nggak berdasarkan tokoh tertentu.
Jadi, aku nggak memikirkan siapa-siapa ketika membuat Katrissa dan lain-lain.
Satu-satunya karakter yang berdasarkan tokoh tertentu adalah Langit. Fisiknya
aku gambarkan seperti member boyband
Korea B1A4, CNU. Karena itu rasanya
ajaib banget, begitu Unfriend You
selesai, eh B1A4 datang ke Indonesia. Rasanya seperti dikasih hadiah, apalagi
aku dapat tiket secara gratis. Eh malah curcol. ^_^
Soal sekolah, sebenarnya aku
membayangkan SMP-ku dulu. Tetapi SMP-ku kan hanya SMP biasa, jauh dari Eglantine
High. Jadi, aku bayangkan sendiri versi mewahnya lengkap dengan kantin dan
perpustakaannya. Biasanya aku mengumpulkan foto kantin atau bangunan sekolah
lainnya, jadi itu mempermudah gambaran aku dalam menulis.
Oke, Dyah. Itu aja pertanyaan dariku. Terakhir, kamu
boleh ninggalin pesan atau mungkin promo buku or anything untuk pembaca blogku?
Orang banyak mengira bahwa untuk
menjadi penulis, dia harus berbakat. Menurutku enggak. Semua orang bisa menjadi
penulis. Menulis nggak butuh bakat, yang dibutuhkan hanya rajin dan sabar.
Rajin berarti rajin menulis, rajin membaca, rajin memperbaiki kekurangan kita
dan memperhatikan kelebihan kita. Sabar
artinya terus bertahan meskipun naskah kita dikritik atau ditolak penerbit. Dan
untuk terus sabar, kita harus menulis dengan penuh gairah. Karena pada
akhirnya, kalau kita nggak mencapai yang kita inginkan, setidaknya kita punya
karya yang bisa kita banggakan.
Nama: Diah Utami Puspitarini
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 19
April 1979
Karya yang pernah dipublish:
Serial Detektif Imai 1-4 (2011-2013), Marginalia (2013), Unfriend You (2013)
Pekerjaan: Penulis
Penulis Favorit: Stephen King,
Neil Gaiman, Michael Crichton
Alamat blog: http://deetopia.blogspot.com
Alamat Facebook:deetopia
Alamat Twitter:@deetopia
Notes: Twitter dan FB-ku emang
buat konsumsi publik, kok. Aku akan senang kalau ada pembaca yang mengontak aku
via fb atau twitter. ^_^