Selamat Datang, Cinta
Odet Rahmawati
Alona (subjektif, I hate
that name) udah lima tahun tinggal sendiri karena orangtuanya meninggal dan
tiga tahun terakhir ditinggalin pacarnya, Galih. Suatu hari Alona mendapat
kabar kalau sahabat baiknya sejak kecil, Bastian, kabur dari rumah karena
berantem dengan orangtuanya. Akhirnya Bastian tinggal di rumah Alona.
Bastian struggling dengan
masalahnya sendiri.
Alona pun struggling dengan masalah patah hatinya dan kenangan
bersama Galih.
Orangtua Bastian datang ke Yogya. Masalahnya selesai.
Alona mendapat kiriman surat Galih. Masalahnya selesai.
Bastian bersikeras tetap tinggal di Yogya karena cinta sama Alona.
Dan, semua masalah selesai.
Sesederhana itu? Yup.
Ini karya debut Odet Rahmawati, seseorang yang selama ini sering
gue lihat di timeline dan event-event
nulis yang diadain Mbak Wangi dan Mas Momo. Meski enggak kenal langsung, senang
juga, sih, tahu karyanya akhirnya diterbitin.
Gue pertama tahu novel ini dari obrolan ngalor ngidul sama Adit. Celetukan
awalnya Adit yang bilang, “If, cek kover Gagas sekarang, deh. Susane Colasanti wannabe.” Dan,
ngeceklah gue. Akhirnya gue bertemu kover ini dan Tears in Heaven. Komentar pertama
gue setuju sama Adit, Susane Colasanti abis alias tone yang dipakai mirip kover novel luar. Mungkin Gagas ingin
mencoba something new biar novelnya
tetap stand out dibanding novel lain.
Manis, sih, tapi gue enggak ngerasa feel
Gagas-nya.
Forget about that cover. What about the story? Okay, let me
elaborate this.
1.
Main theme. I don’t get what the
main theme is. Sahabat jadi
cinta aka friendzone-kah? Trying to move on-kah? Or maybe something else? Sepertinya,
sih, sahabat jadi cinta. Masalahnya, pengalaman gue baca buku ini adalah seperti
dua cerita berdiri sendiri tanpa irisan yang mengikat. Ya Bastian dengan
masalah keluarganya. Ya Alona (really, I hate
that name) dengan masalah patah hatinya. Diceritakan mereka bersahabat,
tapi gue enggak menangkap unsur persahabatan itu. Semata Bastian cuma numpang
tinggal. Enggak sekalipun Alona membantu Bastian menyelesaikan masalahnya. Bahkan
Alona enggak tahu apa-apa (dan tiba-tiba menjelang akhir Alona tahu aja gitu. Kapan
Bastian ngasih tahu Alona? Jangan-jangan ni cewek cenayang). Irisan baru ada
ketika orangtua Bastian balik ke Jakarta dan tiba-tiba aja mereka sadar sudah
jatuh cinta. Come on, mana
tanda-tandanya? Mungkin maksud Odet adalah agar cerita enggak terlalu ketebak,
tapi sayang banget Odet terlalu asyik menyoroti kedua masalah mereka dan
sama-sama menjadikan kedua masalah itu sebagai spotlight sehingga akhirnya ikatan yang seharusnya mengikat mereka
malah longgar banget. Makanya gue bingung main
theme-nya apa. Di awal kita diajak mengikuti permasalahan keluarga Bastian
yang harusnya enggak terlalu jadi spotlight.
Saran ya, sebaiknya sejak awal ada clue
cinta Bastian-Alona dan mengurangi sedikit aja masalah keluarga ini. Biar
enggak kayak dua cerita berdiri sendiri.
2.
Odet
jago banget narasi. Tapi, sepertinya lagi-lagi Odet kecele. Keseringan narasi
tanpa mendeskripsiin apa-apa bikin novel ini jadi datar. Plus, minim dialog. Coba,
ya, narasi yang panjang lebar itu dijadiin dialog, bisa bikin pace novel makin tegang dan tentunya
menimbulkan chemistry antara tokoh. Karena
narasi yang ada cuma bikin kita komentar, ‘oh begitu’ but we can’t feel it. We can’t related to them.
3.
Masih berhubungan
dengan poin di atas. Gue kurang sreg ketika Odet di tengah-tengah narasi
membahasakan jadi kita. Mungkin maksudnya untuk membuat pembaca engage sama cerita. Tapi, yang ada bikin
gue serasa baca artikel di majalah. Serasa dikuliahi. Dan, kemampuan narasi ini
sayangnya enggak dipakai ketika mendeskripsikan tempat, contohnya Pantai
Indrayani dan alun-alun yang ada pohon beringin yang kita harus lewatin sambil
tutup mata itu. Sorry, Det, gue serasa baca brosur perjalanan wisata. Oh, gue
juga serasa baca text book kuliah gue
ketika Odet nulis tentang pola komunikasi kota-desa. Ya itu tadi, karena
membahasakan pake kita. Komentar untuk part paling akhir. Awalnya pake aku,
trus dua kalimat akhir kecele pake PoV 3. Piye, tho?
4.
Dialog. Actually, gue suka dialog kata-kataan
Bastian-Alona. Menunjukkan kedekatan mereka. Sayang sesayang-sayangnya, kenapa
dikit banget, sih? Coba, ya, itu diperbanyak. Gue yakin akan lebih dapat chemistry-nya. Tapi… dialog Bastian dan
orangtuanya terasa kurang cowok, ih.
5.
Karakter. Well, gue enggak suka sama kedua tokoh. Bastian
simply karena dia kekanak-kanakan
banget dan detail kecil yang diberikan Odet bukannya menaikkan simpati pembaca
sama cowok ini, malah makin drop. Manja
banget. Kekanak-kanakan parah. Dan Alona pun gengges menurut gue. Iya, sih, dia
paling enggak mau mengurusi urusan orang lain, tapi ya masa Bastian kabur dari
rumah dan orangtuanya udah khawatir banget gitu tapi enggak ditanya ada masalah
apa sebenarnya? (Atau ada ditanya dan gue yang siwer? Please yang tahu, jawab ya. Mungkin aja gue salah).
6.
Twist. Apa-apaan itu twist soal Keyshia? Selain enggak
penting menurut gue, juga ganggu.
7.
Bahasa mendayu-dayu.
Subjektif di gue yang lebih suka bahasa yang lugas. But, like I said before, I like dialog between Bastian and Alona. Dan…
Bastian serta Galih kerasa kayak cewek. Maksudnya, bahasanya kurang cowok aja.
8.
Gue enggak
sreg dengan alasan putus Alona dan Galih. Come
on, kalau mau bohong mbok ya yang bombastis sekalian. Jangan yang
mengada-ada dan bikin rolling eyes
pas baca. Soalnya, Alona ini diceritain udah dekat banget sama Galih dan
keluarganya dan mau aja gitu dibohongin? Plus, Galih juga cemen. Terkait ke
poin nomor enam, bukti makin cemennya dia.
9.
Catatan buat
editor. Gue rasa banyak penempatan tanda baca yang aneh di sini. Dan, kata
kurang efektif. Gue rasa semua orang juga udah tahu kali, ya, gitar itu bagian
dari alat musik. Enggak perlulah berkali-kali ditulis alat musik gitar, pffttt…
Overall, sebagai novel debut, sorry to say, gue kurang puas dengan
ini. Tapi, gue tetap menunggu novel Odet selanjutnya. Karena gue ingat pernah
suka cerpen-cerpennya. Keep writing,
Odet.