Joy, Please Stay
Oleh Ifnur Hikmah
Joy, Joy, please stay
I will give you all
my heart and soul and everything
Joy, Joy, please stay
I know it’s hard but I
will try to understand that you just wanna do the right thing
But deep in my heart I
will always hope you to stay with me
Joy, Joy, please stay
**
The Barfly, 49 Chalk
Farm Road, Camden Town, London. Saturday, March 28th, 2015. 23:03
Masih
ada satu jam menjelang pergantian hari.
Happy birthday, Louis.
I hope you’ll have a wonderful year ahead.
Aku
mengangkat gelas berisi bir itu tinggi-tinggi, menganggukkan kepala ke
sekeliling ruangan, meski tidak ada seorang pun yang kukenal. Permohonan yang
sederhana, tapi hanya bisa kuucapkan seorang diri. Aku tidak tahu, apakah udara
pekat di pub ini bisa mengantarkan
permohonanku kepada Louis yang entah di mana sekarang.
Setidaknya,
di dalam pub yang penuh sesak oleh orang-orang
dan raungan gitar yang makin memekakkan telingaini, aku bisa merasakan
kehadirannya. Aku bisa menatap foto dirinya berada di bawah sorotan lampu
sambil memegang gitar dan urat-urat bertonjolan di dahinya saat dia menggapai
nada tinggi sewaktu foto itu diambil.
Juga,
dari alunan lagu yang tengah dimainkan The Average Boys di atas stage. Lagu yang dulu dinyanyikan Louis
di hadapanku saat aku memutuskan pergi dari hidupnya. Lagu yang kemudian
melambungkan nama Louis dan membuatku terkenal sebagai Joy the Heartbreaker.
Joy, Joy, please
stay.
Setelah
gelas ke sekian, aku merasa Louis-lah yang menyanyikan lagu itu. Tepat di
hadapanku. Memohon agar aku tetap tinggal.
Aku
menutup mata. Berharap ketika membuka mata, dia benar-benar ada di depanku. Dengan
cengiran lebar khasnya.
Namun,
aku tahu, harapan itu tidak akan mungkin terkabul.
**
Joy, Joy, please stay…
Sebut
aku bodoh karena terus memutar lagu tersebut di sepanjang Chalk Farm Road. Aku tahu,
seharusnya aku mematikan lagu itu. Namun, aku tidak bisa berpisah dari Louis. Untuk
saat ini, hanya suaranya yang kumiliki.
Dan,
hanya lagu itu satu-satunya cara agar aku bisa mendengar dia memanggil namaku.
Joy, Joy, please
stay.
Dan
memintaku untuk tinggal.
Aku
merapatkan jaket yang kupakai. Udara malam Camden terasa menusuk kulit. Satu lagi
kebodohan yang kulakukan—berjalan tak tahu arah di bawah pengaruh alkohol yang
membuat kepalaku terasa berat di saat seharusnya aku beristirahat untuk
mengejar penerbangan pukul enam pagi ke New York. Namun, aku tetap bertahan di
sini. Menelusuri jalan yang dulu kujelajahi dengan tanganku berada di genggaman
Louis.
Camden
Lock Market terpampang di hadapanku. Malam ini, pasar itu masih ramai. Langkahku
menuju ke sana. Teringat dulu aku dan Louis sering berada di sana. Selalu saja
ada barang unik yang kami temukan di sana—penjual baju bekas yang menawarkan
pakaian murah, koleksi piringan hitam atau CD penyanyi kesukaan Louis, pelukis
jalanan yang melukis kami, dan makanan. Ada banyak penjual makanan yang dulu
selalu mengisi perutku dan Louis.
Pasar
itu ramai, tapi aku merasa sepi. Sepi yang selalu menghantuiku semenjak aku memutuskan
untuk mengakhiri semua yang sudah kujalani bersama Louis selama lima tahun
terakhir demi impian yang ingin kuraih.
Aku
berhenti di depan penjual kopi. Aku tahu, seharusnya aku tidak menambah beban
kepalaku dengan kafein. Namun, aku butuh sesuatu untuk mengembalikan kehangatan
yang sudah hilang semenjak aku meninggalkan Louis dua tahun lalu.
**
Louis
tengah memainkan gitarnya di The Barfly. Dia akan tampil sebentar lagi. Untuk ukuran
pub lokal, The Barfly sangat terkenal—terutama
bagi para calon musisi yang berharap bernasib sama seperti Blur, Oasis, atau
Coldplay yang mengawali karier di sini. Termasuk, Louis. Dia berharap pub ini bisa melemparkannya ke panggung
besar di O2 Arena.
Menemani
Louis selalu terasa menyenangkan. Dia dengan gitarnya, dan aku bersama buku
gambarku. Aku akan menggambar apa saja, tapi seringnya aku melukis para
pengunjung pub. Aku juga melukis
Louis. Sudah tidak terhitung berapa banyak lukisan Louis terpampang di flat sederhana yang kami sewa bersama.
Namun
malam itu, ada sesuatu mengganjal benakku. Selembar kertas berisi pemberitahuan
aku menerima beasiswa di New York. Aku punya dua pilihan; terima atau tolak—setiap
pilihan pasti akan menyakitiku atau Louis.
“It’s my turn.”
Aku
mendongak dan tersenyum mengiringi kepergian Louis menuju panggung. Aku terdiam
cukup lama, merekam semua momen itu ke dalam benakku.
Entahlah.
Malam itu aku merasa aku akan menyakitinya.
**
Aku
melakukannya. Menyakiti Louis.
Gig itu sukses. Louis bahkan
menerima beberapa tawaran untuk tampil di pub
lain di London. Dia terlihat sangat bersemangat saat kami berjalan menelusuri Chalk
Farm Road. Gitarnya ikut terayun seiring langkah kakinya.
Cuaca
malam Camden menusuk tulang. Louis menggenggam tanganku dan menyimpannya ke
dalam saku coat yang dikenakannya.
“Sudah
lebih hangat, kan?”
Aku
mengangguk. Sementara satu tanganku berada di dalam saku coat Louis, tanganku yang lain sibuk memainkan selembar kertas di
dalam saku jaketku. Kertas itu terasa berat, tapi cepat atau lambat, aku harus
membawanya ke hadapan Louis.
Begitulah.
Aku berhenti di depan sebuah barbershop.
Louis menatapku heran saat aku mendadak berhenti.
“Ada
apa, Joy?”
“Aku…”
aku tergagap. “Aku menerima beasiswa di New York.”
Louis
tahu betapa aku ingin menjadi seorang pelukis. Betapa aku menginginkan
kesempatan ini. Namun saat itu, aku melihat sebaris luka di wajahnya.
**
Pada
akhirnya, aku meninggalkannya. Ketika mengepak barang-barangku, dia menyanyikan
lagu itu, untuk pertama kalinya.
Joy, Joy, please
stay.
Aku
menulikan telinga karena aku yakin lagu itu bisa mengubah pendirianku jika
terus mendengarnya.
“I’m sorry, Joy. Aku enggak bermaksud
membebanimu,” Louis memelukku. “Creativity
is great. Dan, kepergianmu membuatku berhasil memecahkan rekor membuat lagu
dalam waktu sepuluh menit.” Louis menyengir lebar, tapi aku tahu hatinya merasa
sakit. “Pergilah. It’s your dream. Bukankah
kita sudah berjanji akan menggapai mimpi masing-masing?”
Aku
mengangguk pelan. “I know it’s hard but
in the end I understand that you just wanna do the right thing,” bisiknya.
**
Aku
merapatkan jaket dan memeluk tubuhku sendiri untuk mengusir rasa dingin. Aku menangadah,
menatap langit gelap di atasku ketika aku kembali berada di The Barfly. Louis sudah
selesai menyanyikan Joy, Please Stay
dan keheningan menyergapku.
Aku
mengeluarkan iPod dan kembali memutar lagu itu. Perlahan, aku membuka pintu The
Barfly dan disambut oleh foto Louis.
Aku
tidak tahu di mana dia. Namun aku tahu, seperti diriku, dia juga sudah berhasil
menggapai impiannya.
***
Salah
satu tokoh yang menarik perhatianku adalah Tyrion Lannister. Selain keadaan
fisiknya yang langsung menarik perhatian, aku mengagumi karakternya yang
ambisius. Sepertinya, di antara semua keluarga Lannister, hanya Tyrion yang
bisa diajak kompromi. Di balik kekurangan fisiknya, dia punya banyak akal,
strategi dan kecerdasan untuk bertahan di tengah konflik yang terjadi di
Westeros, termasuk saat menjadi Hand of the King dan menghadapi King Joffrey
Baratheon yang semena-mena.