Sepenggal Cerita di Temple Street Street Night Market
Ketika
menulis sebuah cerita, kita enggak hanya mengandalkan lokasi yang kita hafal
dan kenal. Bisa saja, demi kepentingan cerita, kita membutuhkan lokasi yang
sama sekali enggak kita kenal. Atau bahkan belum pernah kita datangi.
Gue
sering kayak gitu. Ketika menulis novel atau cerpen, menentukan lokasi yang
tepat merupakan salah satu hal yang menyenangkan. Pemilihan lokasi tentunya
enggak boleh ngasal asal comot. Tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan
cerita. Misalnya, ketika menulis cerita yang tokohnya seorang fashion stylist, keberadaan kota kayak
Paris atau Milan jadi masuk akal karena terkait fashion.
Karena
itu, menentukan lokasi merupakan hal yang paling gue suka dalam menulis, selain
menentukan karakter.
Dulu
banget, let’s say, maybe when I was a
college student, I wrote a story called ‘Lajang Terakhir’. I don’t know what
happened to me so I don’t write about it again (maybe I lost my interest).
Namun, sebuah kejadian membuat gue ingat lagi cerita itu.
Tepatnya
ketika gue liputan ke Hong Kong pertengahan bulan Oktober 2016 lalu. Saat itu,
ada waktu kosong di malam hari, setelah acara selesai sekitar jam 20.30. Dengan
teman-teman kita berencana pengin main-main malam itu. Saat mengambil peta dan
bertanya ke concierge di hotel soal
tempat terdekat yang bisa kami kunjungi, mata gue tertuju ke suatu tempat.
Temple
Street Night Market
Ingatan
gue refleks terlempar ke masa bertahun-tahun silam. Dua kata, Lajang Terakhir,
memenuhi ingatan gue. Karena salah satu lokasi yang menghiasi cerita itu adalah
Temple Street Night Market.
Otomatis
gue pengin ke sana. Untungnya teman yang lain juga enggak keberatan.
Bermodalkan taksi enggak sampai sepuluh menit, gue pun menginjakkan kaki di
sana.
Temple
Street Night Market memang berupa pasar malam biasa. Di sepanjang jalan
toko-toko berjejer menawarkan berbagai dagangan. Baju-baju, elektronik,
souvenir, anything. Diiringi gerimis,
gue melangkahkan kaki di sana.
Perasaan
emosional menyergap gue ketika menelusuri jalanan itu. Rasanya absurd aja gue
bisa mengunjungi tempat yang pernah menjadi latar cerita gue. Mungkin ini yang
dibilang kalau doa bisa berbentuk apa saja. Itu kenapa kita harus hati-hati
ngomong karena bisa saja suatu hari nanti omongan kita kewujud. Gue udah cukup
ngerasain sendiri beberapa omongan gue yang akhirnya kewujud, walaupun lama
berselang setelah gue ngomongin itu, bahkan di saat gue sendiri udah lupa
pernah ngomong kayak gitu.
Gue
ingat cerita yang gue tulis dulu. Fira dan Dirga, serta cinta yang bersemi di
Temple Street Night Market. Hingga bertahun kemudian, Fira kembali ke sana dan
enggak disengaja, bertemu kembali dengan Dirga. Gue kangen cerita mereka, tapi
detik itu juga gue langsung emosi ketika ingat naskah itu ada di laptop lama
gue yang rusak dan gue belum sempat nyelametin file yang ada di sana.
KZL
Jadilah
Dirga dan Fira ceritanya terperangkap di laptop yang udah rusak. Untung, gue
sempat mengabadikan beberapa cerita di blog ini, meski hanya tiga bab. Mungkin,
dengan membaca ulang, gue bisa ingat lagi ceritanya, dan kepikiran buat
ngelanjutin ceritanya.
Setelah
ini, gue ngebayangin, setting cerita
mana lagi yang akan gue kunjungi? Mari kita berdoa semoga ada kesempatan.
0 Comments:
Post a Comment