Sebelum membaca cerpen ini, aku pengin memberi tahu semacam backstory. Jadi, ide ini kepikiran sewaktu lagi bikin transkrip hasil wawancara dengan Benedict Cumberbatch (yup, aku akan menulis pengalaman ini secara terpisah di post berikutnya). Interview itu diawali oleh pertanyaan dari wartawan Singapura yang bertanya, "Sudah jadi makan dimsum?" yang dijawab Ben dengan, "Bagaimana kamu tahu aku mau makan dimsum?"
Pertanyaan yang simpel (tapi jawaban Ben super panjang, like always). Tapi, jadi kepikiran sebuah cerita jadinya. Kalau baca cerita ini agak membingungkan, itu karena ini spin off dari novel berjudul The (Im)perfect Game yang aku tulis bareng Aditia Yudis sekitar tiga atau empat tahun lalu (belum dirilis, entahlah kapan bakal dirilis). Novel ini sendiri terinspirasi dari film Inseparable yang dibintangi oleh Benedict himself (yess, we are Benedict trash btw). You can watch it here.
Jadi, karena dimsum itulah jadi kepikiran sebuah cerita dan akhirnya membongkar kembali file lama untuk membaca cerita yang pernah ditulis. Kangen juga dengan kisah Ben, Olivia, Jay dan Bran. Ah, semoga draft ini memiliki titik terang.
So, here it is. Memory of Dimsum.
Memory of Dimsum
Ben
menyerahkan sebuah kertas berwarna merah yang dilipat dua kepada Olivia. Dengan
mata menyipit, perlahan Olivia mengulurkan tangan untuk menerima kertas merah yang
disodorkan suaminya tersebut. Dia terlihat curiga, berusaha meyakinkan dirinya
atas apa yang diucapkan Ben sebelumnya, juga akan apa yang dituliskan Ben di
kertas merah ini.
“Kamu
tahu, kan, kalau kamu udah kebanyakan janji?” Meski meragukan janji yang
diucapkan Ben, Olivia tetap menerima kertas merah itu dan meletakkannya di atas
pangkuan.
Perlahan,
Olivia membuka lipatan kerts itu. Ada tulisan tangan yang dikenalnya di sana,
tipis dan ramping tapi tegas. Tulisan tangan Ben.
“Aku,
Benjamin Danubrata, berjanji akan membawa Olivia menikmati makan malam dengan
menu Dim Sum di Hong Kong.”
Senyum
Olivia terkembang ketika membaca tulisan tangan Ben. Dia melirik pria yang
pura-puraa menyibukkan diri dengan membaca buku di sofa di seberangnya dan
seketika tawanya pecah. Dia sudah mengenal pria itu bertahun-tahun, tapi selalu
saja ada tingkah Ben yang membuatnya tertawa.
Seperti
janji makan dimsum ini.
**
Semua
berawal tiga hari yang lalu.
Olivia
pura-pura cemberut sementara Ben yang ada di layar tabletnya malah tertawa
lebar. Pria itu mengambil sebuah dimsum dan dengan sengaja menyodorkannya ke arah
layar tablet, semata karena ingin memanas-manasi Olivia.
“Kamu
membuatku lapar,” rajuk Olivia.
“Makan,
sana.” Sambil mengunyah dimsum, Ben mengoceh santai.
“Sudah
semalam ini, kamu mau aku jalan keluar sendirian mencari dimsum?”
“Jangan.”
Ben menjatuhkan chopstick yang
dipakainya untuk menyuap dimsum. Diiriknya jam tangan seraya meneguk air minum
untuk membantu menelan dimsum yang baru saja dimakannya. Ben menggelengkan
kepala kencang. “Kamu enggak boleh keluar malam-malam begini. Enggak baik buat
anak kita.”
Olivia
tergelak sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit. Usia kehamilannya sudah
memasuki bulan keempat dan Olivia makin menyayangi anak yang sedang
dikandungnya itu. Sejujurnya dia tidak terlalu lapar. Dia hanya sedang ingin
mengganggu Ben yng saat ini sedang berada di Hong Kong demi pekerjaannya. Meski
seringkali harus berjauhan, Olivia enggak pernah merasa kesepian karena Ben
selalu meluangkan waktu untuknya.
Seperti
malam ini, ketika Ben tengah reunian dengan teman sekolahnya dulu di salah satu
restoran dimsum, Ben meneleponnya.
“Pokoknya
kamu harus bawa aku ke sana,” rajuk Olivia.
Ben
mengangguk mantap. “Bertiga. Dengan anak kita nanti.”
**
Olivia
menatap pemandangan di sekelilingnya. Orang-orang berlalu lalang di Temple
Street Night Market. Mereka yang baru saja pulang kerja dan menghabiskan waktu
bersama teman-teman di salah satu restoran seafood, menikmati kepiting dan
sebotol bir. Mereka yang sibuk menawarkan dagangan kepada turis yang memadati
pasar malam itu. Celotehan berbagai Bahasa memenuhi malam, meski gerimis
perlahan berjatuhan dari langit.
Di
salah satu restoran di jalanan itu, Olivia menatap piring dimsum di atas meja.
Retoran dimsum sederhana di tengah keramaian pasar malam. Namun bertahun lalu,
Ben pernah berjanji akan mengajaknya ke sana.
Olivia
akhirnya menginjakkan kaki di sana. Melahap dimsum yang malam itu dipamerkan
Ben lewat sebuah video call. Namun tidak ada Ben. Hanya ada dia dan Bran, putra
kesayangannya.
Di
atas meja di hadapannya, tergeletk di antara piring plastik dan gelas plastik yang
nyaris kosong, terdapat selembar kertas merah berisi tulisan tangan.
Salah
satu janji Ben yang tidak sempat ditepatinya.
Pria
itu pernah berjanji akan mengajaknya ke sini. Bertiga dengan anak mereka.
Menikmati dimsum. Namun Ben tidak perbah punya kesempatan untuk menepati
janjinya,
Juga
janji-janji lainnya yang terlanjur dia ucapkan.
“Bran
masih mau nambah lagi?”
Olivia
menatap putra keayangannya. Bocah itu menangguk, membuat rambut-rambutnya yang
sudah agak panjang bergerak mengikuti anggukan kepalanya. Olivia pun memotong
dimsum itu dan menyuapkannya kepada Brandon.
Ben bagaimana kabarmu
sekarang? Aku ke sini bersama Bran.
Olivia
menatap ke luar jendela, memandangi cahaya lampu yang bersinar indah di luar
sana. Dalam hati Olivia terus berharap, di salah satu tempat di luar sana, Ben
bisa melihatnya dan Brandon.
Sebenarnya,
Olivia ingin ke Jepang. Memulai kehidupan baru setelah kepergian Ben. Namun dia
tidak sengaja menemukan kertas merah ini. Karena itu, Olivia mengubah rencana
perjalanannya dan mengajak Bran ke Hongkong, ke tempat yang pernah dijanjikan
Ben untuk membawa mereka.
Olivia
menyuap dimsum terakhir, sambil mengusap genangan di sudut matanya.
Aku kangen kamu, Ben.
0 Comments:
Post a Comment