PS:
Tema ke-24 dalam rangka 30 stories 30 days.
Tema
oleh: Maggie
I’m not so good in expressing my feeling. Well,
it’s difficult for me to express my feeling.
Ketika
mendapat tema ini dari Maggie, saya langsung memikirkan salah satu kelemahan
saya, yaitu kurang bisa terbuka dan mengekspresikan isi perasaan yang
sebenarnya karena saya lebih sering memendam. Bahkan sampai sekarang.
Sebelum
menuliskannya, saya pun memutar ulang waktu dari masa kecil hingga sekarang dan
menyadari satu hal. Mungkin saya tidak bisa ekspresif karena sejak kecil dan di
keluarga sendiri, saya tidak diajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
Saya
berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Terlihat normal, meski sesekali
mama papa sempat ribut, saya rasa itu wajar terjadi dalam rumah tangga. Namun,
saya tidak merasakan kedekatan yang sangat erat dengan keluarga. Saya dekat
dengan mereka tapi selalu terasa ada jarak.
Tidak Terbiasa Bercerita
Saya
sempat bekerja di majalah parenting
sebelumnya. Di sana, saya pernah menulis tentang family meeting—momen kebersamaan dalam keluarga, tempat setiap
anggota keluarga bercerita soal keseharian dan cerita apa pun. Momen yang bisa
menyatukan semua anggota keluarga.
Baik
ketika menulis artikel itu dulu atau ketika saya menulis ini sekarang, ada
perasaan hampa yang saya rasakan. Karena saya tidak pernah mengalami langsung
momen itu. Pertama kalinya saya bicara heart
to heart dengan mama terjadi beberapa bulan lalu. For almost 28 years, it was the first time I told my mom what’s inside
my heart and begging her to understand me.
Saya
tidak pernah mengalami masa curhat kepada orangtua. Saat saya bingung ketika
tumbuh remaja, saya tidak pernah bercerita kepada mama. Waktu kecil saya memang
dekat dengan papa, tapi begitu menginjak usia remaja, saya dan papa pun jadi
berjarak. Begitu juga dengan kakak. Kami sering berantem waktu saya kecil dulu—dia
menuduh mama papa memanjakan saya sementara saya melihat justru dia yang
keinginannya selalu dituruti—sampai akhirnya dia kuliah dan kami terpisah sejak
saya kelas 1 SMP dan tinggal bersama lagi ketika saya kuliah.
Seringkali,
saya menghabiskan waktu sendiri. Saya bisa betah di rumah membaca buku atau
belajar sementara mama bekerja atau papa sibuk berkebun. Lama-lama saya jadi
terbiasa dan baru akhir-akhir ini saya menyadari that I lacked emotion. Maksudnya emosi dalam mengekspresikan diri,
emosi yang bisa membuat saya bercerita jujur dari hati ke hati because it takes a long time for me to open
my heart. Sampai-sampai teman saya pernah bertanya apakah saya tidak
menganggap dia teman, mengingat saya tidak pernah curhat.
Bukannya
tidak mau, tapi saya terlanjur nyaman melakukan apa pun sendiri.
Sumber Kesalahpahaman
Mungkin,
karena minimnya waktu yang kami habiskan dan tidak adanya keterbukaan yang
membuat saya dan mama sering terlibat kesalahpahaman. Mama memiliki asumsi
terhadap saya, dan saya pun memiliki asumsi sendiri. Kami tidak pernah
membicarakannya, masing-masing larut dalam asumsi yang kami miliki.
There was a time when I thought
that my mom drove me crazy. There was a time that I don’t want to meet her. There
was a time when I feel that I don’t need her. There was a time when I thought
that she never understands me and she didn’t try to understand me.
Lack of Expression
Menjelang
ulang tahun, satu-satunya hal yang ingin saya dengar adalah ‘selamat ulang
tahun, iif’ dan diakhiri dengan doa. Ya, saya ingin mendengar kalimat itu dari
mama, papa, dan kakak. Kalimat simple dan straight
to the point.
Because I never heard
that.
Mereka
memang mengucapkan selamat ulang tahun, tapi tidak pernah straight to the
point. “Makan ke mana kita?” that’s what
my sister said. “Jadi, sekarang hari apa?” That was my mom. And nothing from my dad. Saya tahu di balik
kalimat bersayap itu adalah ucapan selamat ulang tahun dan saya tahu meski
tidak pernah berkata langsung, mereka pasti mendoakan saya.
But, pardon my selfish
heart because I want to hear that simple and straight to the point statement.
Ini
hanya contoh dari betapa minimnya keromantisan di dalam keluarga. Saya rasa itu
juga yang mendasari kenapa saya begitu gigih ingin mengapresiasi diri sendiri,
mungkin karena selama ini saya sangat jarang mendengarnya.
Mungkin
itu cara saya mengisi kekosongan yang selama ini saya rasakan.
Green-eyed Monster
Iri?
Tentu saja. Sudah tidak terhitung berapa banyak saya menatap iri teman-teman
yang bisa curhat panjang lebar dengan mamanya atau bisa dekat dengan papanya. Juga
sisterhood moment dengan kakak—entah sekadar jalan-jalan atau belanja bareng.
It never happened in my
life.
And then, what would you
do?
Saya
memang masih sering merasa awkward
saat harus mendekatkan diri kepada orangtua. Namun, saya selalu ingat kalau I don’t want to live with regret.
It’s better late than
never,
kalimat ini benar banget. Ketika saya tahu papa sudah mulai sering
sakit-sakitan, saya sadar bahwa sudah saatnya untuk mengubah keadaan. Ya,
keluarga saya memang tidak romantis, tapi bukan berarti saya tidak bisa
menciptakan kehangatan itu.
Hal
pertama yang saya lakukan adalah menerima keadaan. Saya memang tidak bisa
bercerita akrab dengan mama, tapi saya tahu, di balik SMS singkat setiap Jumat ‘pulang
If?’ itu berarti banyak. That she waits
for me every weekend because she wants to spend her time with me. Di balik
pertanyaan papa soal berita yang dia tonton, itu caranya to keep our conversation, seperti dulu dia sering menyodorkan koran
ke arah saya dan memberitahu berita menarik yang dia baca. Di balik kecerewetan
kakak, I know that she cares for me.
Lambat
laun saya menyadari kalau setiap orang punya cara berbeda untuk menuangkan isi
hati. Ada yang bisa dengan mudahnya mengekspresikan diri, dan ada yang seperti
keluarga saya.
Kami
punya cara masing-masing.
Mama
dan papa mungkin tidak pernah mengatakan sayang secara verbal, but they always there for me. Dulu mata
saya sempat tertutup ntuk menyadarinya. There
would be no ‘get well soon’ everytime I got sick, but my mom always took first
flight from Padang to Jakarta everytime I got sick.
Now I understand that it’s
more than enough.
When I take the first step, ternyata canggung itu
hanya ada di awal. One thing at a time, itu
prinsip saya. Saya pun membiasakan diri untuk membangun percakapan ringan dan
tidak lagi memendam asumsi sehingga tidak perlu ada lagi kesalahpahaman.
Semua
orang punya cara masing-masing untuk menunjukkan kehangatan hati. Di sinilah
dituntut saling pengertian sehingga bisa sama-sama saling menerima.
Termasuk
menerima kalau cara orang lain tidak sama dengan cara kita.
And you, what will you do
to express your emotion?
XOXO
Iif
Maggie:
“Karena gue ngerasa sama nyokap itu lebih kayak teman, tapi gue enggak pernah
bisa peluk-pelukan sama nyokap, enggak bisa manja-manjaan. Gue bisa kayak gitu cuma
sama Oma. Maksud gue, sayang enggak sih lo enggak bisa nanya soal cowok sama
nyokap lo saking ada jaraknya, misalnya gitu.”
Maggie. You don’t know
what life brings into your life, including someone unexpected. Maggie is a
text-book kind of friend, I mean she always do what friends should do. You can
count on her when it comes to someone who always listen to you or be at your
side everytime you need a friend. She’s a-shoulder-to-cry-on kind of friend. I feel
bless because I know her and being her friend.
0 Comments:
Post a Comment